Defisit APBN Berpotensi Melebar Akibat Program Makan Siang Gratis
Program makan siang gratis yang dicanangkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto diperkirakan dapat memperlebar defisit Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) karena program ini membutuhkan anggaran jumbo.
Apalagi, surplus APBN terus turun, yang kini hanya mencapai Rp 8,1 triliun pada Maret 2024. Nilai itu masih kalah jauh dari realisasi Maret 2023 yang menyentuh angka Rp 128,5 triliun.
Peneliti Centre of Macroeconomics and Finance INDEF, Riza Annisa membenarkan, ruang fiskal APBN saat ini sangat terbatas karena belanja pemerintah sudah mencapai 60% seperti belanja pegawai serta belanja barang dan jasa.
"Yang tidak bisa diganggu gugat lagi, belanja untuk bunga utang yang sudah hampir 20%, yang semakin tinggi dan trennya meningkat. Kondisi fiskal sudah tidak leluasa lagi dan fleksibilitasnya juga semakin turun," kata Riza dalam dikusi bertajuk Catatan Kritis Ekonomi Indonesia: Tanggapan Terhadap Kinerja Ekonomi Kuartal I 2024, Selasa (7/5).
Dengan kondisi itu, jika program makan siang gratis ditambahkan sebagai komponen baru dan mempunyai anggaran khusus, maka otomatis akan memperlebar belanja pemerintah.
"Sementara belanja kita sekarang sudah defisit karena belanja lebih besar dari pendapatan. Kemungkinan besar belanja akan meningkat dan meningkat lagi," ujarnya.
Untuk itu, Riza menyarankan pemerintahan era Prabowo untuk mengelola anggaran secara hati-hati walaupun program ini dilakukan secara bertahap. Karena belanja pemerintah bisa naik dan menjadi tantangan APBN ke depan.
Potensi defisit itu sudah dicermati pemerintah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bahkan menetapkan defisit APBN 2025 sebesar 2,45% - 2,8% dari PDB. Rasio defisit itu lebih tinggi dari APBN 2024 yang ditetapkan 2,29% dari PDB.
Prabowo Diminta Seimbangkan Rencana Belanja
Tak berbeda, Ekonom Bank DBS Radhika Rao juga meminta Prabowo untuk menyeimbangkan rencana belanja dengan pembatasan defisit fiskal demi mendukung pertumbuhan ekonomi dan mencegah lonjakan utang.
"Pemerintahan baru perlu menyeimbangkan rencana belanja ekspansif, dengan kebutuhan, untuk membatasi defisit fiskal di bawah ambang batas minus 3% produk domestik bruto (PDB) dan mencegah lonjakan tingkat utang publik dan biaya pinjaman," kata Radhika dikutip dari Antara, Kamis (18/4).
Dia memperkirakan, pemerintahan baru akan menindaklanjuti kebijakan dan reformasi yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo seperti hilirisasi komoditas, pembatasan ekspor bijih lebih lanjut, dorongan infrastruktur, dan pemeliharaan pendekatan yang probisnis.
Diikuti peningkatan program kesejahteraan sosial dan subsidi untuk mendukung daya beli rumah tangga. Sehingga dengan berakhirnya Pemilu, ia memperkirakan peningkatan komitmen investasi, yang juga dibantu oleh belanja sektor swasta, dorongan konsumsi, dan dorongan fiskal yang positif.
"Katalis domestik ini kemungkinan akan mengimbangi pelemahan di sektor perdagangan yang menyusutkan surplus barang pada bulan Januari-Februari sebesar hampir 70% yoy," ujarnya.