Ekonom DBS: Makan Siang Gratis Bisa Genjot Konsumsi Jika Tepat Sasaran
Kepala Ekonom Bank DBS Taimur Baig menilai positif rencana pelaksanaan program makan siang dan susu gratis pada periode Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Dia mengatakan, penyaluran kebijakan makan siang gratis secara tepat sasaran dapat membangun pola konsumsi jangka panjang yang dapat mengurangi ketimpangan dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Selain itu, ia berharap program ini bisa mendorong produktivitas masyarakat.
"Sejauh program sosial itu ditujukan dan menyasar kepada masyarakat yang sangat miskin maka akan menciptakan basis konsumsi yang berkelanjutan," kata Taimur dalam media briefing di Hotel Mulia Jakarta pada Selasa (21/5).
Taimur menjelaskan, kebijakan makan siang dan susu gratis berpotensi meningkatkan konsumsi atas barang-barang yang diproduksi di dalam negeri. Di sisi lain, dia memprediksi penyaluran kebijakan program sosial untuk masyarakat miskin itu dapat menekan porsi impor barang-barang mewah atau kelas atas.
"Subsidi untuk membantu masyarakat yang sangat miskin serta program semacam itu tidak menyebabkan kenaikan impor barang seperti mobil," ujarnya.
Taimur pun menyebut pelaksanaan program dan makan siang gratis kecil kemungkinan memicu persoalan fiskal berkepanjangan yang membuat investor obligasi, seperti institusi keuangan maupun bank khawatir tentang stabilitas ekonomi negara.
Bank DBS menganggap target rasio utang pemerintah dalam dokumen rancangan awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) di kisaran 39,77% hingga 40,12% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2025 masih berada di level moderat. Kondisi tersebut tidak menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor obligasi global.
Angka rasio utang ini meningkat dibandingkan dengan target 2024 sebesar 38,26% dari PDB dan dan lebih tinggi dari realisasi tahun lalu yang sebesar 38,98% dari PDB.
Taimur Baig mengatakan rentang rasio utang Indonesia tahun depan relatif rendah ketimbang kondisi sejumlah negara besar di dunia saat ini yang tengah membicarakan besaran rasio utang terhadap PDB hingga 100%.
"Dari sudut pandang internasional, utang Indonesia atau defisit Indonesia tidaklah tinggi menurut standar apa pun. Hal itu bukan sesuatu yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor obligasi global terhadap Indonesia," kata Taimur.