Ekonomi Era Prabowo Sulit Tumbuh 8% Jika Polanya sama dengan Jokowi

Ferrika Lukmana Sari
28 Mei 2024, 16:18
Prabowo
Fauza Syahputra|Katadata
Presiden terpilih, Prabowo Subianto (kiri) bersama dengan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka (kanan) menyampaikan keterangan pers seusai rapat pleno penetapan pemenang Pilpres 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (24/4/2024). Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang Pilpres 2024.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Sejumlah ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi era pemerintahan Prabowo Subianto sulit mencapai 8% jika masih menjalankan kebijakan ekonomi yang sama seperti pada masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda memprediksi pertumbuhan ekonomi era Prabowo masih di angka 5% jika menerapkan kebijakan yang tidak jauh berbeda dengan Jokowi yang fokus pada infrastruktur dan pembangunan fisik.

"Faktor investasi di bawah Menteri Investasi Bahlil pun belum bisa mengangkat pertumbuhan ekonomi Indonesia," kata Nailul kepada Katadata.co.id, Selasa (28/5).

Nailul juga menilai kebijakan yang diambil Prabowo akan sama seperti pada masa Jokowi, termasuk dalam komposisi menteri yang kemungkinan mengisis beberapa pos yang juga sama.

Selain itu, dia menyoroti program kampanye Prabowo yang lebih menyasar ke program yang tidak menghasilkan efek ke pertumbuhan ekonomi baik dalam jangka pendek maupun menengah. Dan diperkirakan program jangka pendek Prabowo masih di sektor infrastruktur dan hilirisasi.

Terlebih, hilirisasi yang dilakukan saat ini efeknya relatif terbatas dengan keuntungan yang diperoleh. Pemerintah lebih fokus mengejar ekspor barang setengah jadi dari nikel. Harusnya yang dibangun adalah industri mobil listrik secara keseluruhan bukan hanya hilirasi nikel ke barang setengah jadi.

Maka untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, perlu mendorong sektor ekonomi yang mampu memberikan nilai tambah tinggi, seperti industri manufaktur. Karena industri manufaktur bisa bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi.

"Namun dengan catatan juga bahwa masalah ICOR yang tinggi bisa diselesaikan dengan efisiensi birokrasi hingga pemberantasan praktik korupsi dan nepotisme," kata Nailul.

ICOR mencerminkan besarnya investasi yang dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output dalam mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Semakin tinggi nilai ICOR, maka semakin tidak efisien dalam penggunaan investasi.

Perlu Perhatikan Sektor Manufaktur

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual meminta pemerintah jangan hanya mengendalkan skenario ekonomi business as asual atau berdasarkan operasi bisnis biasa, yang membuat target ekonomi 8% sulit tercapai.

"Perlu ada reformasi yang menyeluruh supaya ekonomi Indonesia dapat tumbuh dengan memanfaatkan sumber potensial yang belum tersentuh demi mencapai target ekonomi 7%-8%," kata David.

Selain itu, pemerintah perlu memperhatikan sektor manufaktur, karena sekitar 1,6 juta tenaga kerja baru belum terserap oleh sektor formal setiap tahunnya. Karena reformasi sektor informal cukup mendesak.

Dia mengingatkan, bahwa sebagian besar aktivitas ekonomi dan kesempatan kerja di Indonesia berada pada sektor informal. Selain itu, digitalisasi ekonomi juga menjadi bagian penting dalam perluasan sektor formal Indonesia.

"Namun perlu diperhatikan agar digitalisasi dan adopsi teknologi lebih lanjut tak menjadi enabler impor barang atau jasa untuk terus masuk ke pasar Indonesia," kata dia.

Untuk itu, pemerintah perlu memperluas akses terhadap pasar global demi menyerap kelebihan produksi Indonsia. Sehingga Indonesia bisa masuk dalam rantai pasok global juga menjadi bagian krusial dalam kesuksesan reindustrilisasi.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...