Bank Indonesia Kembali Menahan Suku Bunga 6,25% pada Juni 2024

Ferrika Lukmana Sari
20 Juni 2024, 14:44
suku bunga
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Spt.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo bersiap menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur BI di Kantor BI, Jakarta, Kamis (21/12/2023). Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia bulan Desember 2023 memutuskan untuk mempertahankan BI rate sebesar 6,00 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25 persen dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen.
Button AI Summarize

Bank Indonesia (BI) kembali menahan suku bunga acuan atau BI-Rate pada level 6,25% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada 19-20 Juni 2024.

Selain suku bunga acuan, bank sentral juga menahan suku bunga deposito facility pada level 5,50% dan suku bunga lending facility sebesar 7,00%.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan, alasan BI menahan suku bunga untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5% plus minus 1% pada tahun 2024 dan 2025.

"Kebijakan ini didukung dengan penguatan operasi moneter untuk memperkuat efektivitas stabilisasi nilai tukar Rupiah dan masuknya aliran modal asing," kata Perry dalam konferensi pers, Kamis (20/6).

Hal ini dibarengi dengan kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan makroprudensial longgar juga terus ditempuh untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga.

Perry menekankan bahwa, kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran.

Sesuai Prediksi Ekonom

Keputusan ini sesuai prediksi sejumlah ekonom. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan BI masih menahan suku bunga 6,25% untuk menjaga laju inflasi dan stabilitas rupiah.

"BI mempertimbangkan kondisi inflasi yang tetap terkendali, posisi cadangan devisa serta prospek keseimbangan eksternal yang tetap terkelola," kata Josua.

Menurut Josua, pelemaha rupiah dan mata uang global lain dipengaruhi oleh sentimen pelemahan euro di tengah ketidakpastian politik Eropa dan suku bunga Bank Sentral AS, The Fed.

"Kondisi ini tidak mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia, maka pelemahan rupiah saat ini cenderung bersifat sementara," ujarnya.

Pada pertemuan pejabat The Fed pada Juni 2024, Bank Sentral AS memiliki ruang untuk memangkas suku bunga 25 bps pada tahun ini. Serta ruang penurunan suku bunga sebesar 100 bps pada tahun 2025.

Tak berbeda, Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky juga melihat peluang BI mempertahankan BI rate sebesar 6,25%. Dengan begitu, perbedaan dengan suku bunga The Fed masih terkendali.

Hal tersebut diharapkan dapat mendukung intervensi moneter melalui strategi triple intervention, yakni intervensi aktif di pasar spot valuta asing, pembelian Surat Berharga Negara (SBN), dan intervensi di pasar domestic non-delivery forward (DNDF) untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.

Menurut dia, nilai tukar rupiah sampai saat ini masih belum stabil, bahkan terdepresiasi sebesar 2,79% dari Rp 15.950 per dolar AS pada 17 Mei menjadi Rp 16.395 per dolar AS pada 14 Juni 2024.

“Angka ini menandai level terendah sejak April 2020, saat awal pandemi Covid-19. Pelemahan rupiah terutama disebabkan oleh penguatan dolar AS, yang telah berdampak pada mata uang global,” kata Riefky.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari, Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...