Bank Indonesia Prediksi Suku Bunga The Fed Turun Pada November 2024
Bank Indonesia (BI) melihat peluang Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed akan menurunkan suku bunga lebih cepat pada tahun ini. Karena sebelumnya, BI melihat peluang penurunan Fed Funds Rate (FFR) pada akhir 2024.
"Semula FFR kami perkirakan baru turun Desember 2024, itu ada probabilitas yang semakin besar bisa maju ke November," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan BI Juli 2024, Rabu (17/7).
Meskipun begitu, BI belum berani mengatakan The Fed akan menurunkan suku bunga lebih cepat pada September 2024. Hanya saja, Perry mengakui pasar memperoyeksikan penurunan suku bunga The Fed bisa terjadi pada September 2024.
"Tapi kami perkirakan yang terkini ada probabilitas FFR turun pada November 2024. Pasar biasanya berekasi sebelumnya," ujar Perry.
Jika perkiraan BI tepat, Perry yakin akan semakin membuka peluang nilai tukar rupiah terus menguat pada tahun ini. Paling tidak nilai tukar rupiah dapat lebih stabil jika probabilitas suku bunga The Fed turun lebih awal.
Ketidakpastian Pasar Uang Global Masih Tinggi
Menurut Perry, ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi di tengah prospek perekonomian dunia yang kuat. Sebab, ekonomi global diperkirakan tumbuh 3,2% didorong pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Eropa pada 2024.
Terlebih, pertumbuhan ekonomi AS tetap baik ditopang oleh konsumsi dan stimulus fiskal. Perry menyebut ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh lebih tinggi didorong oleh perbaikan ekspor dan investasi.
Sementara ekonomi Cina masih belum kuat karena dipengaruhi lemahnya permintaan domestik. Sedangkan inflasi AS pada Juni 2024 lebih rendah dari perkiraan karena dipengaruhi oleh inflasi energi dan perumahan yang menurun.
"Hal ini mendorong prakiraan penurunan suku bunga kebijakan AS dapat lebih cepat dari proyeksi sebelumnya pada akhir 2024 di tengah yield US Treasury 10 tahun yang tetap tinggi karena kebutuhan defisit anggaran pemerintah AS," kata Perry.
Dia menambahkan, terkait ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi dan ketegangan geopolitik yang belum mereda. Hal ini mengakibatkan aliran modal ke negara berkembang relatif terbatas.
"Perkembangan tersebut berimplikasi pada penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif dari rambatan ketidakpastian global terhadap perekonomian negara berkembang, termasuk Indonesia," ujarnya.