Sri Mulyani: Penarikan Utang Baru Rp 214,7 Triliun Untuk Kebutuhan APBN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan realisasi penarikan utang baru sebesar Rp 214,7 triliun pada Juni 2024 tetap sesuai target. Nilai itu naik 28,9% dibandingkan realisasi Juni 2023 Rp 166,5 triliun.
“Pembiayaan utang masih on track untuk memenuhi kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Jumat (2/8).
Realisasi tersebut setara dengan 33,1% dari target APBN 2024 sebesar Rp 648,1 triliun, terdiri dari penerbitan SBN (neto) sebesar Rp 206,2 triliun dan pinjaman (neto) sebesar Rp 8,5 triliun.
Dia memastikan pengelolaan pembiayaan utang dilaksanakan secara hati-hati dan terukur dengan memperhatikan dinamika perekonomian dan pasar keuangan. Pengelolaan utang juga mempertimbangkan kondisi likuiditas serta keseimbangan antara biaya dan risiko utang.
Sementara itu, realisasi pembiayaan investasi mencapai Rp 47,8 triliun, yang digunakan untuk mendukung peningkatan akses pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan penguatan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Secara umum, realisasi pembiayaan anggaran hingga semester I 2024 mencapai Rp 168,0 triliun. Nilai itu setara 32,1% dari APBN.
Peringkat Kredit Jangka Panjang RI
Baru-baru ini, Standard & Poor’s Global Ratings (S&P) mengumumkan peringkat kredit jangka panjang Indonesia bertahan pada level BBB, sementara jangka pendek pada A-2 dengan outlook stabil.
Sri Mulyani yakin peringkat tersebut membuktikan Indonesia mampu mengelola utang dengan akuntabel.
“Pemerintah mengelola utang secara hati-hati serta akuntabel dengan pemilihan tingkat risiko portofolio yang cermat untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang kuat,” katanya beberapa waktu lalu.
S&P menilai Indonesia berhasil menjaga stabilitas fiskal dengan kebijakan yang hati-hati. Pemerintah mampu mengelola anggaran dengan disiplin dan menjaga defisit fiskal di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Rasio utang pemerintah terhadap PDB juga masih relatif rendah dibandingkan peers pada level investment grade. Stabilitas makroekonomi juga menjadi salah satu faktor utama yang mendukung peringkat kredit Indonesia.
Insentif pajak yang diberikan pada industri manufaktur dan pengolahan diyakini oleh S&P akan bermanfaat dalam pengembangan sektor industri yang terkait. S&P juga menyoroti cadangan devisa dan sistem perbankan yang cukup kuat dalam menahan gejolak ekonomi.