Ekonomi RI Dibayangi Pelemahan Daya Beli Masyarakat, Apa Bisa Tumbuh 5,2%?
Sejumlah ekonom mengungkapkan beberapa tantangan ekonomi di masa akhir pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mulai dari penurunan PMI Manufaktur hingga pelemahan daya beli beli kelas menengah bawah. Padahal, pemerintah membidik pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada tahun ini.
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2024 relatif melambat jika dibandingkan periode yang sama pada 2023.
“Jika kita telisik lebih dalam, hal ini tidak terlepas dari penurunan pertumbuhan konsumsi swasta atau rumah tangga yang hanya mampu tumbuh di kisaran 4,93% secara tahunan atau sedikit melambat jika dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 5,23%,” kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Selasa (6/8).
Selain itu, ada indikasi perlambatan konsumsi dari penurunan pertumbuhan simpanan perbankan terutama untuk rekening nasabah di bawah Rp 100 juta. Berdasarkan data, pertumbuhan simpanan perbankan mengalami perlambatan atau turun 4,1% secara tahunan (yoy) pada April 2024.
“Pertumbuhan simpanan itu relatif lebih rendah dibandingkan pencapaian pada Maret 2024 yang mencapai 7,8% yoy,” ujar Yusuf.
Menurut Yusuf, penurunan pertumbuhan simpanan tersebut mengindikasikan kelompok kelas menengah bawah mulai menggunakan tabungannya untuk konsumsi sehari-hari. Selain itu, juga adanya penyesuaian konsumsi di kuartal I dan II 2024.
Berdampak Pada Penurunan Investasi
Jika perlambatan konsumsi tidak diatasi, bakal berdampak terhadap investasi. “Penurunan konsumsi terutama di kuartal II juga berdampak terhadap penurunan investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) pada kuartal yang sama,” kata Yusuf.
Pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto pada kuartal II 2024 mencapai 4,43% atau relatif sedikit lebih rendah dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 4,63%. Hal itu yang menyebabkan industri tidak meningkatkan kapasitas produksi dalam bentuk peningkatan investasi.
“Ini dikarenakan beberapa komponen permintaan dari masyarakat di kota kedua itu mengalami penurunan atau perlambatan, sehingga mereka akhirnya menggunakan kapasitas produksi terpasang dan tidak meningkatkan investasi terutama di kuartal tersebut,” ujar Yusuf.
Dorong Belanja Produktif
Dalam kondisi seperti ini, Yusuf mendesak pemerintah untuk memastikan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% bisa terjaga atau tercapai pada tahun ini. Apalagi, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,05% pada kuartal II 2024.
Jika melihat dari perlambatan belanja pemerintah terutama di kuartal II 2024, maka pemerintah pusat maupun daerah punya ruang untuk mendorong realisasi belanja yang berkaitan dengan masyarakat sehingga memberikan stimulus bagi perekonomian terutama di sisa tahun ini.
“Apa yang dilakukan pemerintah akan ikut menentukan seberapa jauh dorongan perekonomian pada semester II nanti dan tentu harapannya pemerintah bisa lebih aktif dalam menstimulasi perekonomian sehingga target pertumbuhan ekonomi 5% relatif masih bisa untuk dicapai,” kata Yusuf.
PMI Manufaktur Tidak Ekspansif
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melihat tantangan ekonomi pada kuartal III 2024. Salah satunya dari purchasing managers' index atau PMI manufaktur dalam kondisi yang tidak ekspansif atau di bawah angka 50
Lalu dari sisi konsumsi rumah tangga, Bhima menyebut daya beli kelas menengah masih lemah pada kuartal II 2024. “Apalagi tidak ada event yang kemudian mampu mendorong konsumsi rumah tangga pada kuartal III -2024,” ujar Bhima.
Belanja pemerintah juga masih turun drastis pascapemilu dari 19,9% secara tahunan per kuartal I 2024 menjadi 1,42% pada kuartal II 2024. Hal ini menyebabkan adanya penyesuaian bantuan sosial pascapemilu berkontribusi terhadap pelemahan belanja pemerintah.
Menunda Tarif PPN 12%
Dari kondisi tersebut, pemerintah perlu menjaga pertumbuhan ekonomi dengan menunda penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% dan menurunkan tarif PPN menjadi 8-9% untuk memberikan stimulus konsumsi domestik.
“Hal ini mengingat kelompok kelas menengah atas cenderung menahan konsumsi secara berlebihan. Kalaupun mereka mengeluarkan uang, pasti diarahkan untuk produk-produk investasi,” kata Bhima.
Selain itu, kurs rupiah juga perlu dijaga demi mendorong peningkatan dana hasil ekspor (DHE). Jika diperlukan, adanya capital control untuk menahan DHE selama 9 bulan di bank domestik sebagai respons darurat jika pelemahan kurs mencapai Rp 17.000 - Rp 17.500 per dolar AS.