Keuntungan dan Risiko Indonesia Gabung BRICS
Pemerintah Indonesia resmi menyatakan keinginan bergabung dengan blok ekonomi sejumlah negara berkembang bernama BRICS saat KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia, Kamis (24/10). Apa keuntungan bagi Indonesia bergabung dalam BRICS?
BRICS merupakan singkatan dari Brazil, Russia, India, China, South Africa. KTT BRICS pertama digelar pada 16 Juni 2009 di Yekaterinburg.
Saat itu, para pemimpin BRICS mengeluarkan pernyataan bersama mencakup tujuan BRICS untuk mempromosikan dialog dan kerja sama antarnegara secara bertahap, proaktif, pragmatis, terbuka, dan transparan.
Anggota BRICS saat ini di antaranya Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Ethiopia, Iran, Mesir, dan Uni Emirat Arab.
Dalam KTT BRICS ke-16, Indonesia secara resmi diakui sebagai negara mitra BRICS bersama 12 negara lainnya. Negara-negara Asia Tenggara yang turut menjadi mitra BRICS adalah Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Peneliti Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah menilai Indonesia bisa meminta beberapa negara kunci yang tergabung di BRICS seperti Rusia dan Cina, untuk mempercepat berbagai butir perjanjian bilateral yang selama ini belum optimal, jika resmi bergabung.
"Seperti kerja sama kedirgantaraan dan ruang angkasa, termasuk pembangunan fasilitas nuklir untuk tujuan energi, serta energi terbarukan," kata Rezasyah dikutip dari Antara, Sabtu (26/10).
Manfaat lain menjadi anggota BRICS yakni memungkinkan Indonesia berkonsultasi di tingkat bilateral dan kolektif perihal semua prosedur keanggotaan, termasuk menyelami suasana kebatinan seluruh pimpinan BRICS, birokrasi dalam BRICS, serta semua dokumen yang telah lama dihasilkan.
Selain itu, meningkatkan reputasi Indonesia di kalangan negara-negara berkembang. Keanggotaan juga dalam BRICS memungkinkan Indonesia mendapatkan dukungan moral dari para anggota lainnya apabila Indonesia ingin mempersatukan para anggota Organisasi Kerja sama Islam alias OKI dan Liga Arab guna mempercepat kemerdekaan Palestina.
Ekonom Center of Economic and Law Studies atau Celios Nailul Huda menilai gerakan diplomasi Indonesia merupakan gerakan nonblok, sehingga BRICS dan Organisation for Economic Co-Operation and Development atau OECD bisa menjadi pilihan. Indonesia tengah merampungkan proses aksesi keanggotaan OECD.
OECD merupakan organisasi intergovernmental atau antar pemerintah negara-negara maju di dunia yang memiliki misi untuk mewujudkan perekonomian global, bersih, dan berkeadilan.
Proporsi ekonomi negara BRICS meningkat cukup tajam dari 15,66% pada 1990 menjadi 32% pada 2022. Meskipun ekonomi Cina diprediksi tumbuh melambat, tapi tetap akan menjadi pesaing bagi Amerika ke depan.
“Bergabung dengan BRICS akan memberikan keuntungan bagi Indonesia untuk bisa lepas dari pasar tradisional seperti AS dan Eropa,” kata Huda kepada Katadata.co.id, Jumat (25/10).
Indonesia juga bisa masuk ke pasar koalisi BRICS, seperti Timur Tengah. “Jadi sebenarnya keuntungan masuk BRICS cukup besar,” ujar Huda.
Menteri Luar Negeri RI Sugiono sebelumnya menyampaikan, prioritas BRICS selaras dengan program kerja pemerintah, antara lain ketahanan pangan dan energi, pemberantasan kemiskinan, dan pemajuan sumber daya alam.
"Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif. Bukan berarti kami ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum,” ujar Sugiono.
Indonesia memandang BRICS sebagai wadah yang tepat untuk membahas dan memajukan kepentingan bersama negara-negara di kawasan selatan atau Global South.
Risiko Indonesia Gabung BRICS
Meski terdapat banyak manfaat yang bisa diterima Indonesia, Peneliti Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah mencatat ada beberapa tantangan yang harus diwaspadai apabila menyandang status sebagai anggota BRICS, di antaranya:
- Ada potensi kalangan Barat pimpinan Amerika Serikat mempertanyakan kemandirian Indonesia dalam menjalankan kebijakan luar negeri bebas aktif
- Ada potensi kalangan Barat membatasi hak istimewa yang Indonesia nikmati selama ini, seperti alih teknologi dan investasi
- Menguatnya kritik kubu Barat dengan ekonomi kapitalistik atas kecenderungan ekonomi Indonesia yang terkesan sosialistis
Rezasyah menyarankan Indonesia menegaskan kepada dunia bahwa posisi dalam BRICS diputuskan secara mandiri sebagai bukti konsisten dengan kebijakan luar negeri bebas aktif, yang perlu memelihara keseimbangan dalam berhubungan dengan semua kekuatan besar dunia, dalam mengantisipasi berbagai tantangan yang kemungkinan terjadi.
Selain itu, Indonesia perlu menyinergikan semua pencapaian diri dalam BRICS dengan arah pembangunan semua negara berkembang di dunia.
Hal senada disampaikan oleh Ekonom Celios Nailul Huda. Ia mengatakan ada potensi perang dagang Amerika dan Cina, ljika Donald Trump menang dalam Pilpres AS melawan Kamala Harris.
Koalisi BRICS memunculkan risiko bentrokan kepentingan dengan negara adidaya lain seperti Amerika. Salah satunya terkait fasilitas perdagangan dengan AS yang bisa dicabut atau bahkan dikurangi.
Risiko lainnya yakni potensi ekonomi global melambat dan berdampak pada negara koalisi BRICS.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yushistira menilai bergabungnya Indonesia ke BRICS akan memperkuat hubungan dengan Cina. Namun itu bisa berdampak negatif jika terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama.
“Akan banyak barang-barang murah dari Cina, karena kelebihan kapasitas produksi yang dikirim ke Indonesia,” kata Bhima.
Selain itu, kinerja ekspor ke Cina berpotensi melemah karena permintaan domestik di Negara Tirai Bambu melorot.
"Jadi harus memilih mana sebenarnya yang lebih strategis, bergabung dengan OECD atau BRICS,” ujar Bhima.
Menurut dia, banyaknya forum bersifat multilateral justru akan membuat energi Indonesia habis dan tidak fokus. Bergabung dengan OECD misalnya, membutuhkan ada penyesuaian regulasi di Indonesia.
"Itu membutuhkan waktu yang tidak sedikit, serta membuang-buang energi dan biaya karena membutuhkan koordinasi dengan sekretariat BRICS. Daya tahan APBN juga akan terganggu,” kata Bhima.
Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar menyatakan, ada risiko kebijakan investasi yang tidak konsisten yang dapat mengganggu stabilitas dan kepastian hukum yang dibutuhkan oleh investor, jika Indonesia bergabung dengan BRICS.
Jika tidak dimitigasi, maka berpotensi menimbulkan ketegangan dengan OECD. Hal itu bisa berujung pada kebijakan proteksionisme yang tidak adil.
“Ini mengingat kedua organisasi tersebut memiliki pendekatan dan nilai-nilai yang berbeda,” ujar Media.