Menko Airlangga Pastikan Keanggotaan BRICS Tak Ganggu Aksesi OECD
Pemerintah sudah mengumumkan rencana untuk bergabung dengan BRICS. BRICS merupakan blok ekonomi yang beranggotakan negara-negara berkembang seperti Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan.
Upaya itu dilakukan di tengah proses Indonesia dalam aksesi Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Meski begitu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastika proses keanggotaan BRICS tidak akan mengganggu aksesi OECD.
"Tidak (mengganggu proses OECD), kan kita negara nonblok dan itu sudah dipahami oleh seluruh anggota OECD," ujar Airlangga.
Airlangga juga memastikan proses aksesi OECD masih terus berlanjut. Bahkan, sekretaris jenderal OECD akan datang ke Indonesia pada November 2024.
Pada kesempatan tersebut, Indonesia akan mempersiapkan initial memorandum. "Initial memorandum itu yang akan kita bahas dengan sekjen OECD. Sekjen OECD sudah bersurat dengan Presiden Prabowo memohon waktu ke presiden," kata Airlangga.
BRICS Tak Menjawab Kebutuhan RI jadi Negara Maju
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Yeta Purnama menilai rencana Indonesia bergabung dengan BRICS sebagai sesuatu yang bertentangan dengan visi misi Indonesia. Khususnya mengenai rencana untuk menjadi negara maju pada 2025.
Di tengah upaya menjadi negara maju, Indonesia juga tengah menjalani proses aksesi OECD. Bahkan keputusan Indonesia bergabung dalam keanggotaan BRICS juga akan berpotensi memengaruhi aksesi Indonesia ke OECD.
"Peluang Indonesia untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan yang bermitra dengan grup tersebut akan semakin mengecil," ujar Yeta.
Dibandingkan BRICS, urgensi Indonesia untuk bergabung dengan OECD justru jauh lebih tinggi. Hal itu sejalan dengan upaya Indonesia menuju negara maju. Apalagi, grup OECD memiliki anggota yang lebih besar sehingga dinilai lebih penting karena Indonesia perlu mitra yang lebih luas selain dari Cina.
Selain itu, energi dan fokus pemerintahan baru akan semakin berat terkait biaya keanggotaan yang mahal jika harus bergabung dalam banyak kerja sama multilateral. "Jauh lebih efektif fokus ke kemitraan yang sudah ada.” kata Yeta.