Menko Airlangga: Utang Sritex Ditanggung Perusahaan, Negara Hanya Fasilitator
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartaro menyatakan peran pemerintah dalam penyelamatan PT Sri Rejeki Isman (Sritex) hanya sebagai fasilitator. Artinya, bantuan pemerintah bukan berbentuk finansial.
Pemerintah juga akan tetap mengacu kepada putusan pengadilan dalam membantu Sritex. Terkait utang Sritex kepada 28 bank, akan tetap ditanggung oleh perusahaan. "(Utang kepada 28 bank ditanggung) pemilik Sritex. Sejauh ini, kan kita sebagai fasilitator saja," kata Airlangga di Jakarta, Jumat (1/11).
Airlangga menegaskan bahwa keputusan pengadilan perlu ditaati karena Indonesia sebagai negara hukum. "Jadi keputusan pengadilan harus kita ikuti dan sekarang Sritex dikuasai oleh kurator," ujar Airlangga.
Meski demikian, langkah-langkah lanjutan tetap dilakukan agar Sritex tetap berproduksi dalam memenuhi kebutuhan ekspor dan impor. Sejauh ini pihak Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dan kurator sudah bertemu. Begitu juga dengan pemilik Sritex.
Dalam pertemuan tersebut, ada hal-hal teknis yang disepakati terkait jaminan operasional dan proses izin ekspor impor, termasuk penghasilan dari ekspor harus digunakan untuk membiayai operasional usaha.
"Kalau operasionalnya, itu harus pemilik lama yang lebih mengetahui. Harus ada jaminan dari operasi itu, seluruh kegiatan impor ekspor sesuai dengan bisa usahanya," kata dia.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, liabilitas atau kewajiban perusahaan mencapai US$ 1,597 miliar atau setara Rp 25,07 triliun (kurs: Rp 15.700 per dolar AS) pada semester I 2024.
Nilai itu terdiri atas liabilitas jangka panjang sebesar US$ 1,466 miliar dan liabilitas jangka pendek sebesar US$ 131,41 juta. Sedangkan aset perusahaan tersisa US$ 648,98 juta.
Tak Akan Menggunakan Anggaran Negara
Pemerintah tidak akan menggunakan anggaran negara untuk menyelamatkan Sritex dari kebangkrutan. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli hanya menyebut dua opsi penyelematan untuk Sritex, yaitu mediasi dan revisi kebijakan.
Dengan begitu, opsi bailout atau dana talangan tidak termasuk di dalamnya. "Saya menangkap di media seolah-olah pemerintah akan membantu Sritex. Rasanya tidak seperti itu," katanya dalam rapat kerja dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Rabu (30/10).
Adapun tujuan pemerintah saat ini adalah mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan pabrik tekstil tersebut. Untuk urusan hukum, pemerintah juga tidak akan ikut campur.
Untuk opsi pertama, yaitu mediasi. Pemerintah berharap proses mediasi antara manajemen Sritex dan kurator Pengadilan Negeri Semarang dapat dipercepat.
Lalu, opsi kedua, pemerintah akan merivisi kebijakan yang melonggarkan barang impor ke dalam negeri. Aturan saat ini telah membuka keran impor sehingga memukul industri tekstil domestik.
Kebijakan yang maksud adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang barang impor. Aturan ini terbit pada 17 Mei 2024 untuk mengatasi penumpukan puluhan ribu kontainer di Pelabuhan Tanjuk Priok, Jakarta, dan Tanjung Perak, Jawa Timur.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia berpendapat penerbitan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 telah memperburuk kondisi industri tekstil nasional. Aturan ini dinilai memperlancar modus impor borongan tekstil dan produk tekstil (TPT) oleh oknum petugas Bea Cukai.
Ketua Umum APSyFI Redma Wirawasta bahkan mengatakan, Permendag itu berhasil mengeluarkan produk mafia impor TPT yang selama ini tertahan di pelabuhan.
"Kami bisa melihat dengan mata telanjang, bagaimana banyak sekali oknum di Bea Cukai terlibat dan secara terang-terangan memainkan modus impor borongan," kata Redma pada 20 Juni 2024.