Rupiah Diprediksi Melemah, Tertekan Data Manufaktur Cina dan Kebijakan Trump
Nilai tukar rupiah berpotensi melemah pada hari ini. Pelemahan rupiah kali ini bakal dipengaruhi oleh faktor domestik maupun global, seperti data Purchasing Managers Index (PMI) Cina serta kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Donald Trump.
Bahkan nilai tukar rupiah telah menunjukkan pelemahan pada Selasa pagi pukul 09.23 WIB. Nilai tukar rupiah sudah melemah 0,36% menjadi Rp 15.905 per dolar AS.
Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong melihat peluang rupiah terkonsolidasi dengan kecenderung melemah terbatas terhadap dolar AS.
"Indeks dolar AS terpantau naik oleh antisipasi investor akan serentetan data ekonomi penting baik dari dalam maupun luar negeri pekan ini," kata Lukman kepada Katadata.co.id, Selasa (2/12).
Tercatat data manufaktur PMI Cina menunjukkan ekspansi yang lebih kuat dari perkiraan. Selain itu, investor juga menantikan data inflasi Indonesia.
Dengan kondisi itu, Lukman memperkirakan nilai tukar rupiah bergerak ke level Rp 15.800 - Rp 15.900 per dolar AS. Tapi faktor eksternal dan internal masih memengaruhi rupiah sampai akhir tahun 2024.
Lukmana menyebut sentimen rupiah pada sisa tahun ini akan dipengaruhi faktor eksternal seperti geopolitik dan perang, prospek suku bunga Bank Sentral AS atau The Fed, serta arah kebijakan tarif Trump.
"Sedangkan ekonomi domestik masih cukup bagus dan cenderul stabil. Tapi rupiah masih akan tertekan, namun BI akan terus berusaha menjaga rupiah tetap di bawah Rp 16.000 per dolar AS," ujarnya.
Senada dengan Lukman, Pengamat pasar uang, Ariston Tjendra juga melihat potensi pelemahan rupiah ke arah Rp 15.900 - Rp 15.930 per dolar AS, dengan potensi support di kisaran Rp 15.820 per dolar AS.
Ariston mencermati data indeks dollar AS pagi ini terlihat lebih kuat dibandingkan Jumat pagi kemarin. Indeks dollar bergerak di kisaran 106,18 vs 105,88.
Pelaku pasar juga mewaspadai pernyataan yang mulai menabuh genderang perang dagang. Beberapa pernyataannya belakangan ini memberikan ancaman kenaikan tarif ke negara tetangga dan Cina belum lama memberikan ancaman ke negara-negara BRICS untuk tidak mengeluarkan mata uang baru.
"Pernyataan yang konfrontatif ini mendorong kekhawatiran pelaku pasar bahwa perekonomian global bakal bergejolak di masa pemerintahan Trump. Aset dalam Dolar AS pun menjadi pilihan di tengah kekhawatiran sehingga dolar AS masih kuat," kata Ariston.
Dari dalam negeri, data inflasi Indonesia periode November 2024 menjadi sorotan. Dia melihat data inflasi bakal stabil seperti sebelumnya sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap pergerakan rupiah.
Masih Ada Peluang Penguatan Rupiah
Senior Economist KB Valbury Sekuritas, Fikri C Permana memperkirakan penguatan rupiah pada hari ini di level Rp Rp 15730 hingga Rp15930 per dolar AS.
Dia menilai, penguatan rupiah karena didorong oleh sikap Menteri Keuangan AS terpilih Scott Bessent yang memberikan optimisme kebijakan fiskal AS yang lebih stabil.
Selain itu, didorong oleh rilis Chigago PMI yang lebih rendah dibanding konsensus dan bulan sebelumnya. Kemudian hasil lelang Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
"Diharapkan lelang SRBI dapat menarik minat asing lebih tinggi. Ditambah lagi, rilis inflasi domestik yang diharapkan masih stabil," kata Fikri.