Kebijakan Agresif Trump Dorong Lonjakan Harga Emas dan Tekanan Inflasi
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menyoroti adanya tekanan terhadap harga emas domestik yang memicu kenaikan inflasi bulanan dari 0,08% pada Oktober 2024 menjadi 0,30% pada November 2024.
Pelemahan rupiah menjadi salah satu faktor pendorong inflasi kendati harga emas global justru turun akibat arus modal yang mengalir ke dolar Amerika Serikat (AS). Hal ini didorong ekspektasi kebijakan agresif dari pemerintahan Donald Trump.
Hal ini berimbas pada depresiasi rupiah yang menyebabkan harga emas domestik naik. Bahkan, depresiasi rupiah juga turut memengaruhi peningkatan inflasi bulanan meskipun harga emas global turun,
"Hal ini didorong oleh ekspektasi kebijakan agresif dari Trump yang menyebabkan pelemahan rupiah dan harga emas domestik meningkat. Kenaikan harga emas domestik ini memberikan tekanan tambahan pada inflasi umum, khususnya melalui pengeluaran untuk perawatan pribadi," kata Andry, Selasa (3/12).
Selain itu, pergerakan harga pangan juga menunjukkan pola yang tidak merata. Harga beras mengalami deflasi, sementara harga bawang merah mencatat kenaikan yang signifikan.
Untuk mengantisipasi kondisi itu, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah perlu terus diperkuat untuk menekan tekanan harga yang berasal dari ketimpangan pasokan pangan.
"Sektor makanan, minuman, dan tembakau menjadi kontributor utama inflasi bulanan pada November 2024, dengan peningkatan signifikan sebesar 0,78% dari 0,03% pada Oktober 2024," ujarnya.
Menurut Andry, kenaikan ini menunjukkan bahwa dampak pasokan pangan yang melimpah akibat musim panen baru-baru ini mulai berkurang pada sejumlah komoditas.
Dari sisi inflasi tahunan, angka inflasi tercatat turun menjadi 1,55% pada November 2024, dibandingkan 1,71% pada Oktober 2024. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh tingginya basis inflasi pada periode yang sama tahun lalu.
Ada Tekanan Inflasi Tambahan Jelang Musim Liburan
Andry memproyeksikan adanya tekanan inflasi tambahan pada akhir tahun, seiring dengan meningkatnya permintaan terkait musim liburan. Namun, secara keseluruhan, tekanan inflasi tetap terkendali.
Mengacu pada hal itu, Bank Mandiri memperkirakan inflasi tahun 2024 akan berada di angka 1,98% yang tetap mencerminkan stabilitas harga yang lebih luas.
"Ke depan, permintaan terkait musim liburan dapat memberikan tekanan kenaikan harga menjelang akhir tahun, meskipun tekanan inflasi secara keseluruhan tetap terkendali," ujarnya.
Tantangan global juga dapat memengaruhi inflasi Indonesia. Rencana penerapan tarif impor agresif oleh Trump bakal mengganggu alur perdagangan global, memberikan tekanan pada rupiah, dan meningkatkan biaya di sektor-sektor yang bergantung pada impor.
Sementara, ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina dapat memicu volatilitas harga energi, meski pemerintah berkomitmen menjaga harga BBM bersubsidi, tekanan pada inflasi melalui energi impor tetap menjadi risiko.
"Di sisi positif, kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh Bank Sentral AS atau Federal Reserve dalam pertemuan komite mendatang dapat memberikan stabilitas pada arus modal dan mendukung rupiah," katanya.
BI Punya Ruang untuk Jaga Kebijakan Moneter
Dengan inflasi yang tetap berada dalam target Bank Indonesia di kisaran 2%-4%, otoritas moneter memiliki ruang untuk mempertahankan kebijakan yang akomodatif. Hal ini penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan eksternal.
"Dengan dinamika ini, Bank Indonesia memiliki ruang untuk mempertahankan kebijakan moneter yang akomodatif, terutama karena inflasi tetap berada jauh di dalam kisaran targetnya," ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tingkat inflasi tahunan pada November 2024 mencapai 1,55%. Terjadi peningkatan indeks harga konsumen (IHK) dari 104,71 pada November 2023 menjadi 106,33 pada November 2024.
Berdasarkan kelompok pengeluaran, inflasi tahunan didorong oleh kelompok makanan, minuman, dan tembakau dengan inflasi sebesar 1,68% dan memberikan andil 0,48% terhadap inflasi umum.