Kebijakan PPN 12% untuk Barang Mewah akan Diatur dalam PP Tanpa Perlu Revisi UU
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyebutkan, aturan PPN 12% atas barang mewah tidak perlu merevisi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), melainkan hanya diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).
“Pasti kalau perlu merubah PP, kita revisi gitu saja, kan ada PP 49/2022 yang pengecualian PPN, barangkali kalau sampai ke sana nanti kita koordinasikan,” kata Susiwijono saat ditemui usai acara Indonesia SEZ Business Forum 2024 di Jakarta, Senin (9/12).
Meskipun demikian, wewenang untuk membuat aturan detail terkait PPN 12% atas barang mewah tetap berada di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). “Itu teman-teman Kemenkeu kan ditugaskan oleh Pak Dasco untuk menyusun itu,” ujarnya.
Susi menjelaskan, bahwa kebijakan PPN 12% bakal dikenakan terhadap barang-barang yang ditetapkan sebagai barang mewah serta yang sudah dikenakan PPnBM.
Oleh karena itu, pengaturan soal PPN 12% untuk barang mewah cukup diatur dalam PP, karena PP 49/2022 mengatur perincian Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pahak (JKP) yang dibebaskan dari penetapan PPN.
Tanggapan Banggar DPR
Sebelumnya, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menyatakan, kebijakan PPN 12% bertujuan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Ia menilai negara membutuhkan penerimaan yang lebih tinggi untuk mendanai berbagai program yang dibutuhkan masyarakat.
"Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, efisien, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," ujar Said.
Meskipun ada penyesuaian tarif PPN, negara tetap memastikan bahwa barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat tetap bebas dari PPN, di antaranya beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.
Kemudian daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus; telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas.
Selanjutnya susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas. Kemudian buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan atau dikemas atau tidak dikemas; dan sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
"Selain barang-barang tersebut, semuanya dikenakan PPN menjadi 12%, termasuk pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), seperti kendaraan, rumah," kata Said.
Hal itu bertujuan agar masyarakat dalam kelompok ekonomi lebih tinggi bisa berkontribusi lebih banyak terhadap penerimaan negara, yang nantinya akan digunakan untuk berbagai program sosial guna meningkatkan kualitas hidup dan memperkecil kesenjangan sosial ekonomi.
Namun, Said mengamini kontribusi PPnBM terhadap penerimaan negara tidak terlalu signifikan, dengan rata-rata sebesar 1,3% sepanjang 2013-2022. Artinya, bila PPN 12% hanya diterapkan pada barang mewah yang termasuk objek PPnBM, kemungkinan kurang mampu mendongkrak target penerimaan pajak tahun 2025.
Sementara kebijakan tersebut berpotensi berdampak terhadap daya beli masyarakat. Maka dari itu, dia meminta pemerintah untuk menjalankan kebijakan mitigasi secara komprehensif.