Dampak PPN 12%: Picu Inflasi Tinggi hingga Kelas Menengah Terancam Miskin

Rahayu Subekti
17 Desember 2024, 17:51
PPN
Arief Kamaludin | KATADATA

Ringkasan

  • Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Perpres Nomor 158 Tahun 2024 untuk merombak struktur organisasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), menghapus Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dan menggantikannya dengan membuat dua direktorat jenderal dan satu badan baru, termasuk Ditjen Strategi Ekonomi dan Fiskal, Ditjen Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan, serta Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan.
  • Tujuan dari pembaruan struktur ini adalah untuk memperkuat integrasi dan interoperabilitas sistem keuangan nasional dalam menghadapi dinamika geopolitik dan ekonomi, serta mengatasi kompleksitas tugas Menteri Keuangan dalam kerangka Integrated Financial Management Information System (IFMIS) dan regulasi terkait sektor keuangan dan penerimaan negara.
  • Perpres 158/2024 mencabut Perpres sebelumnya nomor 57/2020 dan mengatur ulang susunan organisasi Kemenkeu, yang sekarang mencakup berbagai direktorat jenderal dan badan baru yang bertugas dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi, stabilitas sektor keuangan, serta pengelolaan teknologi informasi, data, dan intelijen keuangan.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pemerintah akan menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025, kecuali untuk bahan-bahan pokok. Namun kebijakan pajak ini dinilai dapat memicu inflasi tinggi meski pemerintah memberikan sejumlah insentif ke masyarakat dan industri.  

“Kebijakan ini berisiko memicu inflasi yang tetap tinggi pada tahun depan sehingga menambah tekanan terhadap ekonomi, khususnya bagi kelompok menengah ke bawah,” kata Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, Selasa (17/12).  

Menurut Media, kenaikan PPN menjadi 12% bisa menambah pengeluaran kelompok miskin hingga Rp 101.880 per bulan. Sehingga kebijakan ini bisa memperburuk kondisi ekonomi.

Tak hanya itu, pengeluaran kelompok kelas juga akan melonjak hingga Rp 354.293 per bulan akibat PPN 12%. “Hal ini akan memperburuk fenomena penurunan jumlah kelas menengah menjadi kelas menengah rentan miskin,” ujar Media.

Media juga mengkritik pernyataan pemerintah yang mengecualikan barang-barang pokok dari kenaikan PPN 12%. Hal ini seakan-akan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendukung kebijakan progresif bahwa semua barang pokok dikecualikan PPN.

“Padahal, kebijakan pengecualian itu sudah ada sejak 2009. Kenyataannya, PPN tetap naik untuk hampir semua komoditas yang dikonsumsi masyarakat bawah,” kata Media.

Dampak Luas hingga Perlambatan Konsumsi

Kenaikan PPN 12% juga dinilai tetap akan memberikan dampak luas bagi banyak barang yang dikonsumsi masyarakat, termasuk peralatan elektronik, suku cadang kendaraan bermotor, deterjen dan sabun mandi.

“Narasi pemerintah semakin kontradiksi dengan keberpihakan pajak,” kata Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira.

Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda menilai dampak kenaikan tarif PPN terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga negatif. Ketika tarif PPN masih 10%, pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 5%.

Setelah PPN naik menjadi 11%, terjadi perlambatan konsumsi dari 4,9% pada 2022 menjadi 4,8% pada 2023. Perlambatan konsumsi diperkirakan bakal berlanjut akibat PPN 12%. 

Stimulus Hanya Punya Dampak Sementara

Untuk menjaga daya beli, pemerintah menetapkan paket kebijakan ekonomi dengan mengeluarkan sejumlah insentif atau stimulus dengan jangka waktu tertentu. Beberapa di antaranya bantuan pangan atau beras dan diskon listrik 50% untuk daya listrik hingga 2.200 VA selama Januari-Februari 2025.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede menilai stimulus selama dua bulan dapat memberikan dampak sementara terhadap daya beli, terutama dalam menghadapi awal tahun yang penuh tantangan ekonomi.   

Namun, menurut Josua, stimulus selama dua bulan dinilai terlalu pendek untuk menghadapi efek lanjutan dari kenaikan PPN 12%, khususnya dalam menghadapi dampak terhadap konsumsi rumah tangga.

Meski begitu, stimulus tersebut bisa efektif sebagai mitigasi jangka pendek. Namun pemerintah perlu melakukan evaluasi jika stimulus itu bertujuan untuk mempertahankan konsumsi masyarakat hingga 2025. 

“Evaluasi perlu, apakah kebijakan serupa perlu diperpanjang atau diimbangi dengan langkah lain seperti subsidi energi atau insentif pajak tambahan,” ujar Josua.

Josua berharap stimulus ini dapat memberikan kontribusi positif terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2025 melalui beberapa ekspektasi. Konsumsi rumah tangga 2025 diperkirakan tumbuh sekitar 5,0% dari 4,9% pada 2024 dan diharapkan dapat terealisasi dengan dukungan insentif fiskal yang strategis.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rahayu Subekti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...