PPN 12% Bebani Hidup Gen Z: Tabungan Terkuras Akibat Pengeluaran Bengkak
Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% pada 2025 akan berdampak luas kepada masyarakat, begitu juga kepada generasi Z. Sebab, kenaikan PPN akan semakin membebani generasi muda kelahiran 1997 dan 2012 yang masih menjalani tahap awal karir ini.
Hal ini berdasarkan laporan Center of Economics and Law Studies (Celios) bertajuk "PPN 12%: Pukulan Telak Bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah Bawah."
Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda menyoroti peningkatan pengeluaran gen z yang cukup signifikan akibat kebijakan PPN 12%. Bahkan dalam waktu sebulan, kenaikan pajak ini bisa menguras kantong pribadi mereka secara langsung.
"Meskipun angka ini terdengar relatif kecil dalam konteks pengeluaran bulanan yang lebih besar, bagi banyak gen Z yang baru memulai hidup mandiri, ini bisa menjadi beban tambahan yang sulit dihindari," kata Nailul dalam laporan Celios dikutip Jumat (20/12).
Jika dilihat dalam jangka panjang, selisih tarif PPN dari 11% menjadi 12% per tahun sebesar Rp 1.748.265 menjadi lebih mencolok dan memerlukan perencanaan keuangan yang matang untuk menghadapinya.
Perkiraaan ini dihitung dari setiap item yang menjadi pengeluaran generasi Z. Misalnya, pengeluaran kuota internet setelah kena pajak 12% meningkat dari Rp 95.700 menjadi Rp 104.400 per bulan yang berarti ada selisih Rp 8.700.
Tiket konser juga akan naik setelah PPN menjadi 12%. Dalam hitungan Celios, kenaikan tiket konser dari Rp 1,23 juta menjadi Rp 1,344 juta yang berarti ada selisih kenaikan sekitar Rp 112 ribu. Dari 43 macam pengeluaran setelah kenaikan PPN 12%, Celios menghitung ada selisih hingga Rp 1,75 juta per tahun.
Implikasi kenaikan PPN ini sangat terasa dalam pengelolaan anggaran bulanan. Pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari, seperti makan, hiburan, dan transportasi, akan meningkat secara terus-menerus, yang berarti gen Z harus mencari cara untuk mengatur keuangan dengan lebih bijaksana.
Dengan tambahan pengeluaran Rp 1,75 juta per tahun, mereka mungkin harus menyesuaikan gaya hidup atau prioritas pengeluaran mereka. Ini bisa berdampak pada keputusan mereka dalam konsumsi barang dan jasa.
"Mereka harus mengurangi frekuensi berlangganan layanan streaming atau menghindari pengeluaran untuk hiburan yang tidak terlalu penting," ujar Nailul.
Kenaikan pengeluaran ini juga memengaruhi kemampuan mereka untuk menabung atau investasi. Dengan tambahan pengeluaran Rp 1,75 juta, tabungan yang mereka kumpulkan akan berkurang.
Ini menjadi tantangan karena menabung dan merencanakan masa depan finansial adalah hal yang penting. Akibatnya, kenaikan harga yang berkelanjutan dapat membuat mereka terjepit dalam mengatur keseimbangan antara pengeluaran sehari-hari dan tabungan.
Jika pengeluaran terus meningkat tanpa adanya peningkatan pendapatan yang signifikan, gen Z bakal kesulitan dalam merencanakan keuangan mereka untuk tujuan jangka panjang, seperti membeli rumah atau mempersiapkan dana pensiun.
Dapat Memengaruhi Daya Beli dan Ekonomi
Secara makro, kenaikan pengeluaran Rp 1,75 juta per tahun dapat memengaruhi daya beli gen Z secara keseluruhan. Jika banyak dari mereka yang berpenghasilan terbatas atau baru memasuki dunia kerja, mereka mungkin akan mengurangi pengeluaran untuk barang dan jasa yang dianggap tidak esensial.
Jika terjadi pada skala yang lebih luas, bisa memengaruhi perekonomian secara keseluruhan, karena menurunnya daya beli bisa menyebabkan perlambatan pada sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi, seperti ritel dan hiburan.
Menurut Nailul, kenaikan biaya hidup yang tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan ini dapat memperburuk ketidaksetaraan sosial, karena tidak semua kelompok di gen Z memiliki akses yang sama terhadap pekerjaan atau peluang ekonomi.
Dalam jangka panjang, kenaikan pengeluaran Rp 1,75 juta per tahun bisa berdampak pada tingkat kepuasan hidup gen Z. Mereka mungkin merasa semakin terbebani dengan biaya hidup yang semakin tinggi, tanpa adanya kenaikan pendapatan yang signifikan.
"Hal ini bisa memengaruhi kesehatan mental mereka, karena ketidakpastian ekonomi dan kekhawatiran tentang masa depan finansial bisa menjadi sumber gangguan kesehatan mental," kata Nailul.
Oleh karena itu, penting bagi Gen Z untuk mulai merencanakan keuangan mereka dengan lebih bijak, mengutamakan tabungan, investasi, dan mencari sumber pendapatan tambahan untuk mengatasi dampak dari inflasi dan kenaikan harga barang yang terus berlanjut.
Pemerintah Harus Batalkan PPN 12%
Untuk itu, Celios mendesak pemerintah untuk membatalkan kebijakan PPN 12% karena pajak ini bersifat regresif, yakni lebih memberatkan masyarakat berpendapatan rendah.
Sebagai pajak tidak langsung, PPN dikenakan secara merata tanpa memperhitungkan tingkat pendapatan, sehingga kelompok miskin menghabiskan proporsi pendapatan yang lebih besar untuk membayar pajak ini dibandingkan kelompok kaya.
Dampak PPN 12% juga dirasakan terutama pada peningkatan pengeluaran gen Z melebihi kenaikan pendapatan riil. Akibatnya, gen Z yang merupakan motor konsumsi rumah tangga yang cukup besar berisiko memilih beberapa opsi.
- Tetap berbelanja barang yang dikenai PPN, namun mengandalkan pinjaman. Akhirnya gen Z tergoda melakukan doom spending (sebuah aktivitas pemborosan karena kecewa dengan masa depan).
- Beralih ke barang dan jasa yang harga nya lebih rendah, melakukan frugal living atau berhemat.
- Membeli barang dari aktivitas yang tidak dikenai pajak seperti thrifting, jastip, hingga berbelanja di ritel informal.
Menurut Nailul, perubahan perilaku konsumsi yang dilakukan gen Z akan merugikan rasio pajak, menyuburkan sektor informal, dan membuat gen Z terjebak utang dalam jangka panjang. Bonus demografi juga berubah menjadi bencana demografi.
Solusi Kerek Penerimaan Pajak
Oleh karena itu, Celios menyarankan pemerintah untuk mendorong kebijakan pajak yang lebih progresif, seperti pajak karbon untuk mengurangi emisi dan menghasilkan pendapatan tambahan, pajak kekayaan yang menyasar individu berpenghasilan tinggi, atau pajak windfall komoditas untuk sektor tertentu seperti tambang atau sawit.
Kemudian menutup kebocoran pajak di sektor sawit hingga transaksi perusahaan digital lintas negara juga opsi perpajakan yang bisa dijalankan.
"Langkah ini lebih adil karena membebani mereka yang memiliki kemampuan finansial lebih besar, daripada masyarakat rentan yang sudah berjuang dengan kebutuhan sehari-hari," kata Nailul.
Selain itu, reformasi sistem perpajakan seperti memperluas basis pajak dan meningkatkan efisiensi pemungutan lebih penting untuk meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan dibanding hanya menaikkan tarif.
Diikuti perubahan sistem perpajakan yang lebih sederhana, insentif Pajak Penghasilan (PPh) Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebesar 0,1%-0,2% untuk mendorong sektor informal menjadi formal jauh lebih berdampak pada perluasan basis pajak.
Jika shadow economy atau aktivitas yang sebelumnya tidak membayar pajak berkurang, negara akan diuntungkan. Cara-cara meningkatkan penerimaan pajak dari kenaikan tarif lebih menghasilkan penerimaan secara temporer, dibandingkan rasio pajak jangka panjang.
Pemerintah juga dapat meninjau kembali pengeluaran negara yang terbuang untuk proyek-proyek Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mangkrak dan jumlahnya mencapai triliunan rupiah, termasuk menghentikan proyek ibukota negara yang sangat membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Pemerintah juga bisa meninjau kembali penyertaan modal negara untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terbukti tidak menghasilkan nilai tambah dan daya saing beberapa BUMN pemerintah yang jumlahnya mencapai ratusan triliun rupiah," ucapnya.