Kenaikan Cukai Hasil Tembakau Dinilai Tak Efektif Tekan Konsumsi Rokok

Ferrika Lukmana Sari
27 Desember 2024, 15:37
rokok
ANTARA FOTO/Basri Marzuki/rwa.
Sejumlah petugas di dekat tumpukan barang bukti rokok ilegal hasil penindakan di Kantor Bea Cukai Pantoloan, Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (12/12/2024). Kantor Bea Cukai Pantoloan mengungkap kasus tindak pidana peredaran rokok ilegal sebanyak 141.400 batang tanpa dilekati pita cukai berbagai merek dan menahan seorang tersangka.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dinilai tidak efektif dalam menjaga keseimbangan kebijakan industri hasil tembakau (IHT) dan menekan konsumsi rokok di Indonesia.

Hal ini berdasarkan hasil kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE-FEB UB) Malang Jawa Timur.

Peneliti senior PPKE-FEB UB Joko Budi Santoso mengatakan, ada pola pergeseran pada konsumen rokok untuk mengonsumsi rokok yang lebih murah ketika harga rokok meningkat.

Kenaikan tarif cukai rokok menunjukkan adanya efek substitusi, di mana konsumen yang sensitif terhadap harga cenderung beralih dari rokok golongan 1 (rokok mahal) ke rokok golongan 2 dan 3 yang lebih murah dengan cukai lebih rendah.

Fenomena tersebut terlihat jelas ketika tarif cukai naik, harga rokok golongan 1 meningkat tajam, tetapi konsumsi total rokok tetap stabil pada 32,5% hingga tarif cukai mencapai 25%.

"Bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai tidak efektif dalam menurunkan konsumsi rokok secara keseluruhan, karena hanya terjadi pergeseran konsumsi dari produk mahal ke produk yang lebih murah," ujar Budi dalam keteranganya, Jumat (27/12).

Tak Efektif Kurangi Konsumsi Rokok

Selain itu, kebijakan kenaikan tarif cukai, baik dengan atau tanpa diikuti kenaikan harga rokok, tidak efektif dalam mengurangi konsumsi rokok secara signifikan.

Menurut Joko, efek substitusi menjadi penghambat utama, di mana konsumen beralih ke produk yang lebih murah, sementara peredaran rokok ilegal meningkat. Selain itu, produksi rokok legal menurun, jumlah pabrik berkurang, dan basis penerimaan negara menyusut.

Untuk mencapai tujuan pengendalian konsumsi dan optimalisasi penerimaan negara, diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif, seperti penguatan pengawasan terhadap rokok ilegal, strategi harga yang seimbang antar golongan, serta edukasi kesehatan untuk menekan permintaan rokok secara bertahap.

"Dengan pendekatan ini, kebijakan fiskal dapat lebih efektif dalam mengendalikan konsumsi rokok sekaligus meminimalkan dampak negatif terhadap industri dan pendapatan negara," katanya.

Untuk itu, perlu kebijakan yang mendukung keberlanjutan industri rokok kecil, penanggulangan rokok ilegal, serta pendekatan berbasis data untuk pengendalian konsumsi menjadi sangat penting untuk keberlanjutan sektor industri hasil tembakau dan keseimbangan ekonomi nasional.

Sehingga, hal ini memerlukan evaluasi terus-menerus dan integrasi lintas sektor untuk memastikan kebijakan yang lebih efektif dan inklusif.

PPKE-FEB UB berharap kajian ini dapat menjadi landasan penting bagi multi stakeholders untuk merumuskan kebijakan yang lebih bijaksana, terutama dalam menyeimbangkan antara pengendalian konsumsi tembakau, pemberantasan rokok ilegal, dan keberlanjutan industri hasil tembakau. 

Menurut Joko, respons positif dari masyarakat menunjukkan tingginya kepedulian publik terhadap isu ini, sekaligus menjadi momentum untuk mendorong kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan pelaku industri.

"Hal ini bertujuan untuk menciptakan kebijakan cukai yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan berdampak luas bagi perekonomian serta kesehatan masyarakat," katanya.

Reporter: Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...