Likuiditas Perbankan Terancam Mengetat Meski BI Pangkas Suku Bunga Acuan

Rahayu Subekti
16 Januari 2025, 13:58
bunga
Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Gedung Bank Indonesia (BI), Jalan M. H Thamrin, Jakarta Pusat.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pada awal 2025, Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan atau BI- Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,75%. Meskipun penurunan ini memberikan ruang bagi perekonomian, tantangan ketidakpastian pasar keuangan global tetap membayangi.

Gubernur BI Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa kuatnya ekonomi Amerika Serikat (AS) serta dampak kebijakan tarif Presiden Donald Trump akan memperlambat proses disinflasi di AS, yang berujung pada ekspektasi penurunan suku bunga Bank Sentral AS atau The Fed yang terbatas.

Kebijakan fiskal AS yang lebih ekspansif juga berpotensi membuat yield US Treasury tetap tinggi, sehingga suku bunga global cenderung tetap tinggi.

"Ini akan berdampak pada menguatnya ekspektasi penurunan suku bunga The Fed yang lebih terbatas," ujar Perry dalam konferensi pers RDG Bulanan BI Januari 2025 di Jakarta, Rabu (15/1). 

Tren Pengetatan Likuiditas Bank

Meski BI telah menurunkan suku bunga, ancaman terhadap likuiditas perbankan tetap ada. Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengungkapkan bahwa likuiditas perbankan masih stabil, tapi tren pengetatan sudah mulai terlihat.

Rasio aset likuid terhadap simpanan tercatat 25,6% pada Desember 2024, dan persaingan likuiditas antara perbankan dan BI akibat tingginya bunga Surat Berharga Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dapat mempengaruhi kapasitas perbankan untuk meningkatkan kredit.

Josua menyebutkan bahwa meski BI telah memperluas kebijakan pengurangan Giro Wajib Minimum (GWM), yang menambah likuiditas sebesar Rp 36 triliun sejak Oktober 2024, masih ada risiko ketatnya likuiditas.

Kondisi ini dapat menghambat pertumbuhan kredit yang diperkirakan bakal mencapai 11%-13% pada 2025. "Hal ini menciptakan tantangan bagi bank untuk memenuhi target pertumbuhan kredit yang diharapkan meningkat," kata Josua.

Menurut Josua, meskipun era suku bunga tinggi mulai mereda, kompetisi untuk menarik dana tetap menjadi tantangan, terutama dengan adanya tekanan likuiditas akibat kompetisi SRBI yang ketat.

"Dengan inflasi yang terkendali dan kebijakan moneter yang mendukung, perbankan memiliki ruang untuk meningkatkan kredit pada sektor investasi dan konsumsi," ujar Josua.

Oleh karena itu, BI perlu menyeimbangkan kebijakan antara mendukung pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Ia menekankan pentingnya kebijakan tambahan seperti optimalisasi tenor SRBI dan insentif untuk sektor-sektor tertentu guna menghindari dampak negatif terhadap ekspansi kredit.

Perbankan Harus Jaga Ketahanan Likuiditas

Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets dari Bank Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto justru berharap crowding out atau terjadinya aliran dana yang terserap ke instrumen otoritas yang menyulitkan likuiditas pasar keuangan agar tidak akan terjadi.

Ia optimistis bahwa dengan suku bunga SRBI yang mengikuti BI-Rate, perbankan akan tetap mampu bersaing dalam menyalurkan kredit. "Jika tren penurunan suku bunga berlanjut, saya rasa bunga SRBI juga akan turun," ujar Myrdal.

Meski adanya optimisme terhadap penurunan suku bunga yang terus berlanjut, perbankan tetap harus menjaga ketahanan likuiditas dan memperhatikan langkah kebijakan BI dalam mendukung stabilitas ekonomi.

Menurut Chief Economist Bank Central Asia, David Samual, perlu iklim investasi yang kondusif di sektor riil. Dia mendorong pemerintah untuk menyediakan instrumen investasi yang menarik bagi investor asing, serta mendiversifikasi instrumen dan biaya pendanaan yang lebih murah, seperti penerbitan dim sum bonds untuk menarik investasi dari luar.

Sementara itu, perbankan kini tengah menantikan penurunan suku bunga SRBI, yang diperkirakan akan terlihat pada lelang SRBI yang berlangsung pada akhir pekan ini.

Chief Economist BNI Leo Putera Rinaldy mengingatkan bahwa pergerakan nilai tukar rupiah akan menjadi kunci dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. "Dengan penurunan BI-Rate, strategi pembuat kebijakan untuk menjaga nilai tukar rupiah menjadi penting," ujar Leo.

BI Berpotensi Tambah Likuiditas Perbankan

Deputi Gubernur BI, Juda Agung, memastikan bahwa BI akan terus menambah likuiditas perbankan mengingat proyeksi pertumbuhan kredit yang masih tinggi. "Kami melihat dengan pertumbuhan kredit yang masih tinggi ke depan, tentu saja memang perlu tambahan likuiditas," kata Juda.

BI akan terus menyediakan kebijakan insentif likuiditas, terutama bagi bank yang menyalurkan kredit di sektor-sektor prioritas. Rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) pada Desember 2024 juga masih tinggi, yaitu mencapai 25,59%, menunjukkan bahwa perbankan mampu menyerap risiko dan mendukung pertumbuhan kredit yang sehat.

Reporter: Rahayu Subekti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...