Surplus Neraca Ekspor Impor Diramal Susut, Ini Penyebabnya


Sejumlah ekonom memproyeksikan Indonesia masih akan mengalami surplus neraca dagang pada Januari 2025. Namun, nilai surplus diperkirakan menyusut dibandingkan bulan sebelumnya.
“Surplus neraca perdagangan diperkirakan US$ 1,47 miliar,” kata Kepala Ekonom Bank Central Asia atau BCA David Sumual kepada Katadata.co.id, Senin (17/2). Angka proyeksi ini dibawah realisasi surplus neraca ekspor impor pada Desember 2024 US$ 2,24 miliar.
David memproyeksikan ekspor pada Januari 2025 tumbuh 6,58% secara tahunan atau year on year (yoy), namun turun 6,9% secara bulanan alias month to month (mtm). Nilai ekspor ditaksir US$ 21,8 miliar.
Sementara itu, impor diperkirakan tumbuh 10,15% yoy, namun turun 4% mtm. Nilai impor diprediksi mencapai US$ 20,4 miliar.
David menjelaskan neraca perdagangan melambat, karena harga komoditas ekspor utama Indonesia batu bara dan minyak sawit mentah atau CPO turun. Sementara itu, harga minyak naik.
“Ekspor dan impor keduanya turun secara bulanan, karena jumlah hari kerja yang lebih sedikit,” ujar David.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga memproyeksikan surplus neraca dagang pada Januari 2025 susut. Hal ini karena normalisasi harga komoditas, meningkatnya kekhawatiran perang dagang, dan pelemahan ekonomi global.
“Surplus perdagangan Indonesia diperkirakan berlanjut, meskipun menyempit dari US$ 2,24 miliar pada Desember 24 menjadi US$ 1,76 miliar bulan ini,” kata Josua.
Josua menambahkan, Baltic Dry Index menunjukkan tren penurunan yang signifikan pada Januari 2025. Hal ini mengindikasikan perlambatan perdagangan global dan berkurangnya permintaan untuk pengiriman bahan baku.
“Hal ini terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran mengenai risiko perang dagang 2.0 dan perlambatan global,” ujar Josua.
Josua memperkirakan ekspor pada Januari 2025 masih akan tumbuh 5,99% yoy, namun turun 7,42% mtm sejalan dengan tren historis di setiap awal tahun.
“Kontraksi lebih lanjut ini didorong oleh melemahnya permintaan eksternal, terutama dari Cina, indikator ekonomi menunjukkan sinyal perlambatan yang berkelanjutan. Selain itu, harga komoditas global terus mengalami normalisasi,” kata Josua.
Sementara itu, aktivitas impor diperkirakan melampaui ekspor. Hal ini karena permintaan domestik yang kuat.
Impor diproyeksikan tumbuh 7,92% yoy, namun turun 5,85% mtm. “Hal ini sejalan dengan tren awal tahun, namun diperlemah oleh permintaan domestik yang kuat,” ujar Josua.