Rupiah Diprediksi Kembali Melemah, Investor Waspadai Kebijakan Suku Bunga BI

Ringkasan
- Projeksi pelemahan rupiah terhadap dolar AS menjelang pengumuman RDG Bank Indonesia, dipicu oleh data ekonomi Indonesia yang lemah dan kekhawatiran suku bunga.
- Kondisi global, seperti meningkatnya tensi dalam perundingan damai Ukraina-Rusia, juga turut menekan nilai tukar rupiah.
- Analis memperkirakan rupiah berpotensi melemah pada kisaran Rp 16.250 hingga Rp 16.350 per dolar AS, dipengaruhi pula oleh rilis risalah rapat The Fed dan data inflasi AS yang meningkat.

Sejumlah ekonom memproyeksi rupiah masih akan melanjutkan pelemahan terhadap dolar AS. Hal ini terjadi menjelang pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada Februari 2025, yang dijadwalkan siang ini.
Analis Doo Finansial Futures Lukman Leong menyebut data ekonomi Indonesia yang masih lemah turut memicu kekhawatiran pasar. "Data ekonomi yang masih lemah juga memicu kekhawatiran prospek suku bunga menjelang RDG BI siang ini," ujarnya kepada Katadata.co.id, Rabu (19/2).
Selain faktor domestik, kondisi global juga berperan dalam pelemahan rupiah. Lukman melihat peningkatan tensi dalam perundingan damai Ukraina-Rusia yang turut menekan mata uang rupiah.
"Rupiah diperkirakan berpotensi melemah dengan kisaran Rp 16.250 hingga Rp 16.350 per dolar AS," ujarnya.
Berdasarkan data Bloomberg pukul 09.15 WIB, rupiah dibuka melemah pada level Rp 16.355 per dolar AS, turun 77 poin atau 0,47% dari penutupan sebelumnya.
Senada dengan Lukman, pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi juga memproyeksikan rupiah akan terus melemah. "Mata uang rupiah akan fluktuatif namun ditutup melemah di level Rp 16.260 hingga Rp 16.320 per dolar AS," kata Ibrahim.
Menurutnya, fokus investor pekan ini akan tertuju pada rilis risalah rapat Federal Reserve (The Fed) pada Januari 2025. Hal ini bertujuan untuk memahami bagaimana para pembuat kebijakan mempertimbangkan risiko perang tarif, menyusul kebijakan perdagangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Ibarahim menyampaikan data minggu lalu menunjukkan harga konsumen AS meningkat pada laju tercepat dalam hampir 18 bulan terakhir.
"Ini memperkuat pesan The Fed bahwa mereka tidak terburu-buru untuk melanjutkan pemotongan suku bunga di tengah meningkatnya kekhawatiran ekonomi," kata Ibrahim.