Efek PHK Massal, Ada Tren Penurunan Lapangan Kerja Berkualitas

Rahayu Subekti
5 Maret 2025, 17:41
lapangan kerja, PHK, pekerjaan, tenaga kerja
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Sejumlah pencari kerja melihat brosur saat menghadiri Jakarta Job Fair 2023 di Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, Selasa (30/5). Jakarta Job Fair 2023 menyediakan 3.357 lapangan kerja yang diikuti 40 perusahaan dari berbagai bidang seperti perbankan, asuransi, pengembangan sumber daya manusia, farmasi dan jaringan waralaba.

Ringkasan

  • Bangkok-Roundtable Sustainability Palm Oil (RSPO) mengumumkan standar baru untuk praktik kelapa sawit berkelanjutan yang selaras dengan aturan deforestasi Uni Eropa, mencakup emisi gas rumah kaca, keanekaragaman hayati, dan pengelolaan air, serta bertujuan meningkatkan transparansi dan traceability melalui platform PRISMA.
  • PRISMA dirancang untuk menyatukan pemangku kepentingan RSPO dalam kolaborasi, meningkatkan efisiensi, akuntabilitas, dan memudahkan analisis data, memastikan kepatuhan terhadap standar RSPO, serta membantu menanggulangi masalah deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia.
  • RSPO menitikberatkan pada dukungan untuk petani kecil melalui pengembangan standar sertifikasi yang lebih ramah petani kecil, Smallholder Support Fund, dan program sertifikasi kelompok, menjaga mereka dalam rantai pasok global dengan standar lingkungan dan sosial yang ketat, sebagai langkah penting dalam memastikan keberlanjutan industri kelapa sawit.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pemerintah mengkalim banyak lapangan kerja baru tercipta meski terjadi PHK massal akibat tutupnya sejumlah pabrik. Namun, ekonom menyoroti kondisi tren penurunan lapangan kerja berkualitas. 

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi mengklaim ada perkembangan positif di industri padat karya. Hal ini ditunjukan dengan meningkatnya permintaan domestik dan optimisme produsen yang tercermin dari naiknya indeks Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia dari level 51 pada Januari ke level 53 pada Februari.

“Kalau diadu, lebih banyak penciptaan lapangan kerja baru,” kata Hasan di Istana Merdeka Jakarta pada Senin (3/3).

Namun, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menilai ada tren penurunan pekerjaan berkualitas  akibat deindustrialisasi yang terus berjalan dan penutupan berbagai bisnis atau pabrik.

“Kalaupun ada penciptaan pekerjaan, umumnya adalah pekerjaan informal berkualitas rendah,” kata Wijayanto kepada Katadata.co.id, Rabu (5/3).

Wijayanto mengutip data BPJS Ketenagakerjaan yang menunjukkan, berhentinya sebanyak 257.471 peserta lembaga itu per Desember 2024 karena PHK. Sedangkan berdasarkan data pada Januari 2025, terdapat 24.512 orang keluar dari kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dengan alasan yang sama.

“Ini data minimal, mengingat tidak semua pekerja termasuk yang informal adalah anggota BPJS. Data ini juga tidak termasuk karyawan yang mengundurkan diri yang sebenarnya juga PHK,” ujar Wijayanto.

Ia menjelaskan, data pengangguran Badan Pusat Statistik atau BPS yang menjadi acuan pemerintah hanya mendefinisikan pekerja sebagai mereka yang bekerja satu jam per minggu. Wijayanto mengatakan, definisi ini juga termasuk yang dibayar maupun tidak dibayar dianggap bekerja.

“Jadi, bisa saja tingkat pengangguran turun tetapi data ini kurang relevan dan tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya di lapangan,” kata Wijayanto.

PMI yang Positif Bukan Berarti Serapan Tenaga Kerja Baik

Hasan pun menilai kenaikan PMI dapat dianggap sebagai sinyal positif dalam konteks industri nasional. Ia menekankan, ekonomi tetap menunjukkan tanda-tanda pemulihan karena adanya peningkatan aktivitas manufaktur meskipun ada PHK di beberapa perusahaan.

“Berapa yang PHK, berapa yang penciptaan lapangan kerja baru. Kalau begitu, kenaikan PMI berarti penciptaan lapangan kerja baru kita cukup baik,” ujarnya.

Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar menegaskan PMI Manufaktur yang positif tidak lantas menggambarkan serapan tenaga kerja dalam kondisi baik.

“PMI memang indikator aktivitas, bukan jumlah tenaga kerja,” kata Media.

Dia menjelaskan, angka PMI Manufaktur Indonesia naik karena tingkat aktivitas di sektor manufaktur masih tinggi. Hal ini terjadi karena ada pesanan baru, produksi, pengiriman dan stok barang terus berkembang.

Namun,  Media mengungkapkan, ada kemungkinan, ekspansi tersebut tidak di sektor padat karya. “Jadi lebih mengandalkan otomatisasi atau industri dengan basis modal yang besar sehingga tidak berjalan lurus ya dengan jumlah tenaga kerja,” ujar Media.

Kondisi yang mungkin terjadi juga adanya restrukturisasi industri. Jadi ada konsolidasi ke bisnis modal infrastruktur yang lebih efisien.

Banyak Perusahaan Menggunakan Pekerja Outsourcing 

Media juga mengungkapkan adanya fenomena tersendiri perusahaan dalam sistem rekrutmen karyawan. Hal ini dikarenakan Undang-undang Cipta Kerja memungkinkan adanya fleksibilitas tenaga kerja.

“Banyak industri manufaktur yang menggeser status karyawannya untuk merekrut pekerja outsourcing dengan bisnis model yang lebih efisien,” ucap Media.

Setelah hal tersebut dilakukan, perusahaan melakukan PHK dengan pekerja sebelumnya dengan alasan efisiensi. Dengan alasan tersebut, perusahaan tidak perlu membayar pesangon cukup besar.

“Impikasinya ketika itu dilakukan pasti terjadi PHK bahkan ketika sudah merekrut outsourcing setelah satu hingga dua tahun jika mereka dianggap tidak maksimal ya kena PHK lagi meskipun sebutannya habis kontrak,” kata Media.

Untuk itu, Media menekankan PMI Manufaktur dan jumlah tenaga kerja pada akhirnya berbanding terbalik. Hal ini meskipun PMI membaik namu aspek penyerapan tenaga kerja menjadi rendah.

Reporter: Rahayu Subekti
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...