BI Tegaskan Deflasi Awal 2025 Bukan Karena Daya Beli Melemah


Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa deflasi yang terjadi pada Januari dan Februari 2025 bukan disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,48% secara bulanan dan 0,09% secara tahunan pada Februari 2025.
Menurut Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juli Budi Winantya, daya beli masyarakat lebih tepat diukur melalui inflasi inti karena mencerminkan interaksi antara penawaran dan permintaan.
"Kalau lazimnya kita gunakan untuk melihat daya beli, representasinya adalah inflasi inti," ujarnya dalam acara Taklimat Media di Jakarta, Kamis (6/3).
Juli menjelaskan bahwa inflasi inti hingga Februari 2025 masih berada di level 2,48% secara tahunan, yang dinilai stabil. Selain itu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal IV 2024 tetap berada di kisaran 5%, yang menunjukkan kondisi ekonomi yang cukup baik.
"Sehingga menurut kami, ini masih cukup baik terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan konsumsi rumah tangga," ujarnya.
Deflasi Menjelang Ramadan Dinilai Tidak Biasa
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia, Mohammad Faisal, menilai bahwa deflasi awal 2025 dipicu oleh diskon tarif listrik. Namun, menurutnya, hal ini tidak biasa terjadi menjelang Ramadan, di mana harga-harga umumnya mulai naik.
"Kalau melihat keseluruhan kelompok makanan mengalami deflasi, walaupun tidak sedalam listrik. Tetapi jika hanya makanan dan minuman yang mengalami deflasi, itu tidak biasa," kata Faisal.
BPS mencatat kelompok makanan, minuman, dan tembakau mengalami deflasi 0,40% secara bulanan dan memberikan andil deflasi 0,12% pada Februari 2025. Beberapa komoditas seperti daging ayam ras, cabai merah, cabai rawit, dan telur ayam ras mengalami deflasi setelah sebelumnya mengalami inflasi.
Faisal menjelaskan bahwa indeks harga konsumen menjelang Ramadan biasanya menunjukkan inflasi, meskipun tipis. "Menjelang Ramadan seharusnya sudah ada dorongan kenaikan harga-harga, namun kali ini tidak. Ini merupakan perbedaan yang tidak biasa dibanding tahun-tahun sebelumnya," ujarnya.
Ia juga menyoroti faktor panen yang terjadi pada Februari 2025, yang meningkatkan pasokan sejumlah bahan pangan secara signifikan. "Artinya, kondisi ini lebih dipengaruhi oleh faktor demand atau permintaan. Ini merefleksikan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih," kata Faisal.