Danantara Berpotensi Kelola Dana hingga Rp 14.000 T, Apa yang Perlu Diwaspadai?


Presiden Prabowo Subianto resmi membentuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara alias BPI Danantara sejak 24 Februari 2025. Danantara akan memiliki wewenang untuk mengelola kekayaan negara berupa aset badan usaha milik negara atau BUMN, dividen BUMN, dan dana realokasi anggaran 2025.'
Laporan Center of Reform on Economics (CORE) Insight menyebut, total aset yang akan dikelola Danantara untuk diperkirakan mencapai Rp 14 ribu triliun. Kelolaan aset tersebut mencapai sekitar 60% produk domestic bruto (PDB) Indonesia pada 2024.
Dengan kelola aset sebesar itu, Danantara akan menjadi sovereign wealth fund (SWF) terbesar di Indonesia, melampaui Indonesia Investment Authority (INA) yang pada 2024 mengelola dana hanya Rp 160 triliun.
CORE pun menilai, keuangan Danantara diperkirakan melampaui aset yang dikelola oleh beberapa SWF lainnya, seperti Temasek Holdings dari Singapura, Khazanah dari Malaysia, Future Fund dari Australia, dan Korea Investment Corporation dari Korea Selatan.
Potensi Danantara
CORE Insight menilai, Danantara memiliki dua potensi positif. Pertama, dapat merapikan aset-aset negara yang selama ini terbengkalai.
“Dengan pengelolaan yang efektif, profesional, dan transparan, aset-aset BUMN yang terpusat di Danantara berpotensi menjadi solusi kekurangan dana investasi di dalam negeri,” demikian laporan CORE Insight, seperti dikutip Selasa (11/3).
Kedua, Danantara dapat menyuburkan investasi dalam negeri dengan aset besar BUMN serta dividennya. Hal ini sesuai dengan target pemerintah untuk mengembangkan sektor prioritas sesuai kebutuhan pembangunan Indonesia.
Namun, CORE memberikan catatan tersendiri dibalik potensi positif Danantara. Catatan ini yakni kepercayaan publik yang rendah terhadap pembentukan Danantara akibat sejarah kasus korupsi dalam pengelolaan BUMN dan perlu ditanggapi serius oleh pemerintah.
Apa yang Harus Diwaspadai?
Danantara diharapkan menjadi mesin investasi strategis untuk mempercepat pembangunan ekonomi. Namun, CORE Insight mengingatkan ada beberapa risiko penting yang perlu diwaspadai.
1. PNBP Berpotensi Berkurang
Pengalihan dividen BUMN ke Danantara berpotensi mengurangi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang selama ini menjadi sumber utama pendapatan negara. Padahal, kebutuhan pendanaan APBN tahun ini meningkat untuk membiayai program pemerintahan baru sehingga defisit anggaran bisa melebar hingga 2,5% terhadap PDB atau lebih tinggi dibanding 2024.
2. Crowding-out Pasar Keuangan
Kemunculan Danantara juga berpotensi menimbulkan efek saling berebut atau crowding-out di pasar keuangan. Jika Danantara mencari pendanaan tambahan melalui obligasi atau instrumen utang lainnya, akan terjadi persaingan dengan swasta untuk mendapatkan modal dalam negeri yang justru dapat menghambat investasi.
3. Konflik Kepentingan
Struktur organisasi Danantara saat ini rentan terhadap konflik kepentingan. Dua dari tiga pimpinan utamanya masih menjabat posisi strategis di pemerintahan yaitu CEO Danantara Rosan Roeslani yang juga menjabat sebagai Menteri Investasi dan Hilirisasi dan COO Danantara Rosan Roeslani yang merupakan Wakil Menteri BUMN.
CORE Insight menilai, rangkap jabatan ini berpotensi mempengaruhi keputusan bisnis Danantara. Berbeda dengan Temasek yang mayoritas CEO-nya berasal dari kalangan independen sejak 2004 dan pemerintah Singapura selalu menjaga jarak dari intervensi langsung.
“Dengan rangkap jabatan dan pelaksana Danantara yang merupakan orang dekat Presiden Prabowo, penentuan objek investasi dikhawatirkan tidak didasarkan pada kalkulasi bisnis yang matang,” tulis CORE Insight.
4. Risiko Politik Berpotensi Mencuat.
Danantara lahir tidak berdasarkan kajian mendalam yang dilakukan oleh pemerintah lintas rezim. Danantara dibentuk karena inisiasi Prabowo yang menurutnya terinspirasi oleh ayahnya yaitu Soemitro Djojohadikusumo.
Ide Danantara terlihat bagus untuk mendorong investasi di dalam negeri, tetapi pemerintah perlu menjaga jarak agar implementasi bisnis Danantara berjalan sesuai dengan strategi korporat.
“Jika intervensi politik menguat dalam proses bisnis Danantara, bukan tidak mungkin hal ini dapat memperburuk iklim investasi di dalam negeri. Juga, berpotensi melemahkan investasi swasta skala kecil, menengah, dan sedang,” tulis laporan CORE Insight.
5. Potensi Risiko Penyalahgunaan Dana
Kasus Jiwasraya dan Asabri memperlihatkan pola manipulasi laporan keuangan. Investasi berisiko tinggi tanpa analisis yang hati-hati, serta kolusi dengan pihak swasta yang memperkaya segelintir elite.
“Tanpa pengawasan ketat dan independen, risiko penyalahgunaan dana Danantara sangat tinggi, terlebih jika pengambilan keputusan masih dipengaruhi kepentingan politik atau pribadi. Kombinasi risiko-risiko di atas akhirnya bermuara pada masalah kepercayaan,” tulis laporan CORE Insight.
Memicu Dampak Sistemik Sektor Keuangan
Risko lain dari Danantara sempat diungkapkan pula oleh Center of Economic and Law Studies (Celios), yakni risiko sistemik keuangan. Danantara akan mengelola aset bank pelat merah seperti Bank Mandiri, BNI, dan BRI. Namun, belum ada regulasi yang secara khusus mengatur dampak potensial dari pengelolaan aset ini terhadap stabilitas sektor keuangan, terutama jika lembaga ini mengalami risiko gagal bayar.
Celios mengungkapkan, risiko ini berpotensi membawa konsekuensi sistemik yang luas. Hal ini mengingat bank-bank BUMN termasuk kategori bank sistemik yang terhubung erat dengan berbagai sektor keuangan.
“Jika terjadi gangguan likuiditas atau solvabilitas di Danantara, dampaknya dipastikan dapat merembet kepada bank BUMN dan mengancam stabilitas keuangan nasional,” tulis Celios.
Absennya regulasi khusus dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan juga memperbesar potensi risiko tersebut. Hingga kini, regulasi yang ada masih dalam format lama dan belum disesuaikan dengan model pengelolaan aset yang dilakukan oleh Danantara.
Salah satu kelemahan utama dalam regulasi saat ini adalah belum adanya mekanisme perlindungan yang jelas terhadap dana pihak ketiga alias DPK yang dikelola oleh bank BUMN. Jika terjadi gangguan dalam pengelolaan aset maka akan menimbulkan ketidakpastian yang dapat berimplikasi pada kepercayaan nasabah, investor, dan mitra bisnis bank BUMN.