Kinerja APBN Awal 2025 Tekor: Penerimaan Pajak Jeblok, Tarik Utang Lebih Besar


Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya mengumumkan kinerja anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2025. Kinerja APBN pada dua bulan awal tahun ini tekor, dengan penerimaan pajak yang anjlok.
Defisit Semakin Lebar
Kementerian Keuangan mencatat, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN pada Februari 2025 sebesar Rp 31,2 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pendapatan negara baru mencapai Rp 316,9 triliun, sedangkan belanja negara mencapai Rp 348,1 triliun dalam dua bulan pertama tahun ini.
Pendapatan negara ini turun 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 400,4 triliun, sedangkan belanja negara turun 7% dari Rp 374,3 triliun.
“Defisit APBN Rp 31,2 triliun atau 0,13% dari produk domestik bruto (PDB). Surplus keseimbangan primer Rp 48,1 triliun,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTA di Gedung Kementerian Keuangan, Kamis (13/3).
Defisit APBN pada bulan kedua tahun ini melebar dibandingkan posisi bulan sebelumnya atau Januari 2025 yang tercatat mencapai Rp 23,5 triliun atau 0,10% terhadap PDB. Kondisi ini bahkan berbanding terbalik dibandingkan Februari 2024 yang mencatatkan surplus Rp 26 triliun.
Namun, Sri Mulyani memastikan, defisit APBN pada Februari 2025 ini masih di dalam target desain APBN sebesar 2,53% dari PDB. Adapun keseimbangan primer pada bulan lalu juga turun tajam dibandingkan Februari 2024 yang mencapai Rp 95 triliun. Keseimbangan primer adalah selisih antara pendapatan negara dengan belanja negara di luar pembayaran bunga utang.
Penerimaan Negara Jeblok
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi pendapatan negara hingga akhir Februari 2025 hanya Rp 316,9 triliun, turun 20,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu Rp 400,36 triliun.
Penerimaan perpajakan yang mendominasi pendapatan negara turun sekitar 25%. Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan perpajakan hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp 240,4 triliun, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 320,6 triliun.
Kinerja paling parah ada di penerimaan pajak. Kementerian Keuangan mencatat,penerimaan pajak pada Februari 2025 mencapai Rp 187,8 triliun, turun 30,19% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan penerimaan pajak turun pada dua bulan pertama tahun ini. Salah satunya, harga komoditas yang turun. Harga batu bara turun 11,8% secara tahunan, harga minyak turun 5,3%, dan nikel turun 5,9%.
“Selain faktor harga komoditas, ada faktor perubahan administrasi pajak," ujar Anggito.
Ia menjelaskan, penerapan tarif efektif rata-rata untuk skema penghitungan pajak penghasilan atau PPh Pasal 21 bagi karyawan dan pegawai mempengaruhi penerimaan pada dua bulan pertama tahun ini. Penerapan kebijakan ini mengakibatkan lebih bayar Rp 16,5 triliun pada Januari-Februari 2024.
Selain itu, menurut dia, ada relaksasi pembayaran pajak pertambahan nilai alias PPN dalam negeri pada Januari diberikan kelonggaran selama 10 hari sehingga dapat disetorkan hingga 10 Maret 2025. "Jika relaksasi ini dinormalisasikan, rata-rata PPN Desember 2024-Februari 2025 Rp 69,5 triliun, dibandingkan periode yang sama Rp 64,2 triliun, masih tumbuh 8,3%," kata Anggito.
Tarik Utang Lebih Besar
Pemerintah menambah utang baru hingga akhir Februari 2025 lebih banyak dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kementerian Keuangan mencatat realisasi pembiayaan utang pada Februari 2025 mencapai Rp 224,3 triliun atau setara 28,9% dari target penarikan utang tahun ini Rp 775,9 triliun.
Angka ini makin besar jika dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pada 2024 realisasi penarikan utang baru pada dua bulan pertama mencapai Rp 184,9 triliun.
Namun, Wakil Menteri Keuangan, Thomas Djiwandono menilai, pembiayaan anggaran sejauh berjalan sesuai rencana dengan perhitungan yang terukur. “Pembiayaan APBN akan dikelola dengan prinsip kehati-hatian dengan mempertimbangkan efisiensi anggaran dan dinamika pasar keuangan," kata Thomas.
Pembiayaan utang terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto sebesar Rp 238,8 triliun. Jumlah ini mencapai 37,2% terhadap target utang di APBN 2025 dan meningkat dibandingkan realisasi penerbitan SBN periode yang sama pada 2024 Rp 177,9 triliun.
Sementara itu, realisasi utang yang berasal dari pinjaman (neto) turun Rp 14,4 triliun pada periode tersebut. Pembiayaan non utang juga minus Rp 4,3 triliun. Sehingga total realisasi pembiayaan anggaran mencapai Rp 220,1 triliun atau 35,7% dari total APBN.
Belanja Pemerintah Melambat
Di sisi lain, Kementerian Keuangan juga mencatat realisasi belanja per Februari 2025 mencapai Rp 211,5 triliun atau 7,8% dari target APBN. Belanja pemerintah melambat karena pada periode yang sama sebelumnya bisa menyentuh Rp 239,6 triliun yang meningkat 9,7%.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan, belanja pemerintah pada periode yang sama tahun lalu itu lebih tinggi karena dipengaruhi beberapa faktor. Salah satunya terdapat penyelenggaraan pemilihan umum atau pemilu.
“Menjelang Pemilu banyak sekali pengeluaran, sementara tahun ini tidak ada. Tahun lalu pemerintah juga memberikan bantuan pangan pada tahun lalu akibat El Nino,” ucap Suahasil.
Suahasil menyebut belanja pemerintah pusat hingga Februari 2025 masih on track. Hal ini meski Presiden Prabowo Subianto menerapkan kebijakan efisiensi.
Ia menegaskan kementerian dan Lembaga membelanjakan hingga Rp 83,6 triliun atau 7,2% dari pagu. Terbesar, merupakan belanja pegawai yang mencapai Rp 36,3 triliun dan belanja bantuan sosial yang telah disalurkan senilai Rp 25,9 triliun.
“Belanja ini tidak disentuh efisiensi. Bansos tetap disalurkan sesuai jadwal,” ujar Suahasil.
Sri Mulyani Terlambat Rilis Kinerja APBN
Menteri Keuangan Sri Mulyani absen melaporkan kinerja anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN Januari 2025. Laporan tersebut seharusnya dirilis pada Februari 2025, tetapi terlambat satu bulan.
"Kami melihat datanya masih sangat belum stabil karena berbagai faktor," kata Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, Kementerian Keuangan mempertimbangkan untuk menunggu hingga data penerimaan, belanja, dan pembiayaan negara cukup stabil.
“Sehingga kami bisa memberikan suatu laporan mengenai pelaksanaan APBN KiTA 2025 dengan dasar yang jauh lebih bisa stabil sehingga tidak terjadi kemungkinan terjadinya salah," ujar Sri Mulyani.