Negosiasi Tarif dengan AS, RI Siap Tambah Impor Gandum, Kapas dan Migas


Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyampaikan bahwa pemerintah akan menawarkan peningkatan impor produk dari Amerika Serikat (AS) sebagai bagian dari strategi negosiasi atas kebijakan tarif impor yang ditetapkan Presiden AS, Donald Trump.
Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu Trump memberlakukan tarif impor kepada sejumlah negara, termasuk Indonesia. Akibat kebijakan ini, berbagai produk asal Indonesia yang masuk ke pasar AS dikenakan tarif sebesar 32%.
Airlangga mengatakan bahwa sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia akan meningkatkan impor dari AS guna menekan defisit perdagangan AS terhadap Indonesia, yang saat ini mencapai US$17,9 miliar.
“Meningkatkan impor dari Amerika Serikat, yang diisi dengan produk-produk yang memang kita butuhkan, termasuk gandum, kapas (cotton), dan salah satunya adalah produk migas,” kata Airlangga dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (7/4).
Ia menambahkan bahwa dengan meningkatnya volume pembelian produk AS, diharapkan defisit perdagangan AS terhadap Indonesia bisa ditekan.
“Meningkatkan jumlah volume beli, sehingga trade deficit yang US$ 18 miliar itu bisa dikurangkan,” ujarnya.
Pemerintah juga akan segera memulai negosiasi dengan AS. “Presiden sudah mengarahkan setelah hari ini, kita akan memberi masukan kepada AS, supaya kita bisa memberikan respons dan harapan,” lanjutnya.
Selain upaya bilateral, Airlangga juga menyoroti langkah kolektif negara-negara ASEAN. Ia memastikan bahwa negara anggota ASEAN akan lebih mengedepankan pendekatan negosiasi ketimbang mengambil langkah retaliasi seperti yang dilakukan oleh Cina, Uni Eropa, dan Kanada.
“ASEAN akan mengutamakan negosiasi. Jadi ASEAN tidak mengambil langkah retaliasi,” ujarnya.
Dalam kerangka kerja sama regional, Indonesia dan Malaysia akan mendorong penguatan Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) dengan AS. Perjanjian bilateral yang ditandatangani pada 1996 itu, menurut Airlangga, sudah tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini.
“Kita akan mendorong berbagai kebijakan baru masuk dalam TIFA, karena banyak isu yang sudah tidak relevan lagi,” ujarnya.