Trump Tunda Penerapan Tarif Impor, Para Ekonom Sebut Indonesia Harus Waspada


Presiden Amerika Serikat Donald Trump akhirnya menunda selama 90 hari pengenaan tarif impor lebih lebih tinggi untuk puluhan negara, termasuk produk dari Indonesia. Keputusan ini mengecualikan Cina. AS tetap mengenakan tarif hingga 125% atas barang-barang berasal dari Tiongkok.
Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan Indonesia perlu memanfaatkan kondisi tersebut. "Untuk memperkuat posisi tawar, membangun koalisi dagang dengan negara-negara yang mengalami tekanan serupa, dan menyusun respons diplomatik yang berbasis resiprositas,” katanya Kamis (10/4).
Strategi terbaik adalah menunjukkan bahwa Indonesia tidak mudah ditekan sambil tetap berdialog dalam kerangka yang adil. “Dengan begitu, Indonesia tidak hanya menghindari jebakan konsesi sepihak, tetapi juga mengambil peran aktif dalam membentuk tatanan perdagangan global yang lebih seimbang dan bermartabat,” ujar Syafruddin.
Ia berpendapat, jeda 90 hari yang diberikan Trump sebenarnya mencerminkan kecemasan. Presiden AS ke-47 itu khawatir ancaman tarif tinggi terhadap puluhan negara akan dianggap sebagai incredible threat atau ancaman yang terlalu ekstrem untuk dipercaya dan justru memicu retaliasi kolektif.
Dalam kerangka game theory, Trump membuka ruang waktu bukan karena ingin berkompromi tapi karena ia tahu jika semua negara menolak tunduk, strateginya akan gagal total. "Karena itu, negara-negara yang terancam, termasuk Indonesia, tidak seharusnya menanggapi jeda ini dengan sikap kompromistis berlebihan," ucapnya.
Indonesia Tetap Perlu Waspada
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengungkapkan Indonesia yang terkena tarif 32% tetap perlu mewaspadai penundaan kebijakan tersebut. Sebab, langkah Trump tersebut bukan solusi permanen.
“Tarif universal 10% tetap berlaku dan setelah masa jeda berakhir, tekanan ekspor Indonesia ke pasar AS dipastikan meningkat,” kata Hidayat.
Produk seperti tekstil, alas kaki, elektronik, hingga otomotif akan menghadapi tantangan daya saing yang makin besar. Hal ini tidak hanya menurunkan volume ekspor tapi juga memperbesar defisit perdagangan yang kemudian menyeret nilai tukar rupiah ke titik nadir.
Rupiah Terus Melemah
Saat ini rupiah terus melemah, hampir menyentuh Rp 17 ribuper dolar AS. Rupiah bahkan diproyeksikan akan terus melorot ke level Rp 17.300 menjelang akhir 2025.
“Depresiasi ini memperberat beban impor, terutama bahan baku industri dan energi sehingga mendorong inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat,” ujar Hidayat.
Pemerintah dan Bank Indonesia tidak kompak dalam mengatasi pelemahan rupiah. Hidayat menilai pemerintah lambat dalam mengantisipasi krisis nilai tukar tersebut, terutama karena masih mengandalkan instrumen moneter dan fiskal yang tidak cukup gesit merespons krisis global.