Memahami Alasan Donald Trump Tetapkan Kebijakan Tarif Impor Tinggi


Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengungkap alasan dibalik pengenaan tarif tinggi yang diterapkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump ke puluhan negara, termasuk Indonesia. Ia menyebut, langkah Trump menerapkan tarif impor yang tinggi untuk mengatasi defisit anggaran yang kini Tengah melanda AS.
Salah satu cara yang dilakukan yaitu mendirikan Departemen Efisiensi Pemerintah atau Department of Government Efficiency (DOGE) untuk memangkas spending hingga setengah triliun dolar AS per tahun.
“Jadi masih ada US$ 0,7 triliun per tahun gap-nya,” kata Wijayanto dalam diskusi virtual Trump Trade War, Jumat (11/4).
Untuk menutup sisa tersebut, Wijayanto mengatakan ada dua alternatif yaitu menaikan pajak atau tarif impor. Jika kebijakan kenaikan pajak diambil maka konsekuensinya adalah Trump harus bersiap menghadapi kemarahan masyarakat AS.
“Kenaikan tarif pajak berseberangan dengan filosofi Partai Republikan yang prinsipnya adalah filosofinya small government, low tax,” ujar Wijayanto.
Untuk itu, Wijayanto mengatakan pada akhirnya opsi yang diambil yaitu menaikan tarif impor. Meskipun ini pada akhirnya akan merugikan masyarakat AS namun Trump menggunakan narasi untuk untuk melindungi industri dalam negeri.
“Bisa dinarasikan tarif dinaikkan untuk menciptakan lapangan kerja. Untuk menghukum negara lain yang tidak adil. Jadi ada begitu banyak narasi populer yang bisa dikemas dalam konteks menaikkan tarif. Tapi kalau menaikkan pajak sudah pasti dia tidak popular,” ucap Wijayanto.
Menghindari Kebangkrutan Fiskal
Wijayanto mengungkapkan, Trump menjanjikan balance budget di masa pemerintahannya. Balance budget berarti defisit anggaran harus nol.
“Kalau dilihat dari pernyataan-pernyataannya, benang merahnya adalah balance budget untuk menghindarkan Amerika dari kebangkrutan fiskal,” ujar Wijayanto.
Berdasarkan data Congressional Budget Office, Wijayanto mengatakan utang Amerika mencapai US$ 36 triliun pada 2024. Jika defisitnya tidak bisa ditekan, utang AS diperkirakan pada 2034 akan mencapai US$ 54 triliun atau dengan kata lain terjadi kebangkrutan fiskal.
Terlebih jika melihat kinerja presiden-presiden AS, tidak ada satupun yang secara serius berusaha menurunkan defisit. Pada era Joe Biden, defisit anggaran bahkan bisa mencapai 11% dari produk domestik bruto (PDB). Tahun ini, defisit anggara AS diperkirakan bisa turun jadi 6,2% dari PDB atau sekitar US$ 1,2 triliun.
Hal itu berbeda dengan defisit anggaran Indonesia yang setiap tahunnya ditargetkan tidak boleh melebihi 3%.
Era Trump Perlu Diantisipasi
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, mengungkapkan era Trump pada tahun ini perlu diantisipasi. Aviliani memperkirakan kebijakan Trump kemungkinan akan terus berubah.
“Tidak tahu sampai kapan. Kita lihat Eropa juga krisis utangnya di mana-mana, Hampir semua negara sejak dilanda Covid-19, utangnya banyak,” kata Aviliani.
Aviliani menilai semua pelaku ekonomi tidak boleh diam di Tengah ketidakpastian. Sebab pada dasarnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga bisa tetap terjaga.
Dengan adanya sikap proteksionisme AS, Aviliani melihat Indonesia harus melakukan negosiasi. “Karena kalau kita tidak bernegosiasi, akhirnya kita juga akan berat dari sisi ekspor ke Amerika Serikat yang kita sebenarnya cukup besar jumlahnya,” ucap Aviliani.
Menurutnya, negosiasi terkait dengan tarif perdagangan harus dilakukan secara bilateral, dari satu negara dengan negara lain. Pemerintah juga perlu menyiapkan strategi untuk menghadapi kebijakan Trump setelah menunda pengenaan tarif selama 90 hari.