IMF: Perang Dagang AS-Cina Tak Picu Resesi Global, Tapi Ketidakpastian Naik
Dana Moneter Internasional atau IMF memperkirakan, perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina akan menekan pertumbuhan ekonomi global, tetapi tak sampai memicu resesi ekonomi. Namun, ketidakpastian tinggi akibat perang dagang dapat meningkatkan risiko tekanan terhadap pasar keuangan.
Direktur Eksekutif IMF Kristalina Georgieva mengatakan, ekonomi berbagai negara saat ini kembali diuji dengan dimulainya kembali sistem perdagangan global yang dipicu oleh kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Ketegangan perdagangan memicu ketidakpastian yang tak terkira sehingga menyebabkan volatilitas di pasar keuangan meningkat.
Georgieva pun memperkirakan tekanan ini akan berdampak pada penurunan prospek pertumbuhan ekonomi global.
"Kami akan mengukur dampak perang dagang ini dalam Prospek Ekonomi Dunia baru, yang akan dirilis awal minggu depan. Di dalamnya, proyeksi pertumbuhan baru kami akan mencakup penurunan harga yang signifikan, tetapi bukan resesi," ujarnya dalam pernyataan di laman IMF, dikutip Senin (21/4).
Amerika Serikat telah menaikkan tarif meski memberikan jeda untuk tarif yang lebih tinggi. Tarif yang dikenakan AS telah ditanggapi dengan balasan tarif oleh Cina dan Uni Eropa.
Saat negara-negara raksasa ini saling berhadapan, menurut Georgieva, negara-negara yang lebih kecil terperangkap dalam arus berlawanan. Amerika, Cina, dan Eropa adalah tiga ekonomi terbesar dunia. Tindakan yang diambil ketiganya berdampak besar ke seluruh dunia.
Menurut IMF, negara-negara ekonomi maju yang lebih kecil dan sebagian besar pasar negara berkembang lebih mengandalkan perdagangan untuk pertumbuhan mereka, dan dengan demikian lebih rentan, termasuk terhadap kondisi keuangan yang lebih ketat. Negara-negara berpendapatan rendah menghadapi tantangan tambahan berupa runtuhnya aliran bantuan karena negara-negara donor beralih menangani masalah dalam negeri.
Georgieva melihat ada tiga dampak utama dari perang dagang. Pertama, ketidakpastian.
Menurut dia, kompleksitas rantai pasokan modern berarti bahan baku impor menjadi bagian dari berbagai macam produk satu negara. Biaya satu barang dapat dipengaruhi oleh tarif di puluhan negara. Dalam dunia tarif bilateral, yang masing-masing dapat naik atau turun, perencanaan menjadi sulit.
"Hasilnya? Kapal-kapal di laut tidak tahu pelabuhan mana yang harus dituju, keputusan investasi ditunda, pasar keuangan bergejolak, tabungan pencegahan meningkat. Semakin lama ketidakpastian berlanjut, semakin besar biayanya," ujarnya.
Kedua, meningkatnya hambatan perdagangan berdampak buruk pada pertumbuhan di awal. Tarif, seperti semua pajak, meningkatkan pendapatan dengan mengorbankan pengurangan dan pengalihan aktivita.
Ia menyebut, bukti dari kejadian sebelumnya menunjukkan bahwa tarif yang lebih tinggi tidak dibayarkan oleh mitra dagang saja. Importir membayar sebagian melalui laba yang lebih rendah, dan konsumen membayar sebagian melalui harga yang lebih tinggi. Dengan menaikkan biaya input impor, menurut dia, tarif berlaku di muka.
"Tentu saja, jika pasar domestik besar, hal itu juga menciptakan insentif bagi perusahaan asing untuk merespons dengan investasi masuk, mendatangkan aktivitas baru dan lapangan kerja baru. Namun, ini membutuhkan waktu," kata dia.
Ketiga, proteksionisme mengikis produktivitas dalam jangka panjang, terutama pada perekonomian yang lebih kecil. Ia menilai, upaua melindungi industri dari persaingan mengurangi insentif untuk alokasi sumber daya yang efisien.
"Namun sekali lagi, jika pasar domestik besar dan persaingan domestik aktif, dampak negatif dapat dikurangi," kata dia.
Menurut dia, perdagangan pada hakikatnya seperti air, ketika negara-negara memasang hambatan dalam bentuk tarif dan hambatan nontarif, alirannya akan teralih.
"Beberapa sektor di beberapa negara mungkin dibanjiri oleh impor murah. Perdagangan tetap berjalan, tetapi gangguan menimbulkan biaya," ujarnya.
