Ekonom Proyeksi AS Dekati Resesi, Bagaimana Dampaknya pada Ekonomi RI?


Gejolak ekonomi Amerika Serikat kembali menjadi sorotan setelah sejumlah kebijakan kontroversial berpotensi menyeret negara tersebut menuju resesi. Chief Economist Bank BRI sekaligus Direktur Utama BRI Research Institute, Anton Hendranata, memperingatkan bahwa pelemahan ekonomi AS dapat memicu efek domino ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dalam penjelasannya, Anton menyoroti kemungkinan terjadinya pelemahan ekonomi di Negeri Paman Sam, serta efek domino yang bisa mengganggu stabilitas ekonomi dunia, termasuk Indonesia. "Amerika Serikat berisiko mengalami resesi," ujar Anton di dalam diskusi tentang outlook ekonomi 2025 di Hotel Bidakara pada Kamis (24/4).
Menurut Anton, tekanan inflasi yang meningkat akibat kebijakan ekonomi yang ia sebut sebagai fake aggressive policy akan memicu penurunan daya beli masyarakat AS atau resesi. Namun Anton ikut mewaspadai masyarakat Indonesia yang terlalu khawatir soal goyangnya politik AS.
“Kita tidak usah terlalu khawatir dengan perang dagang ini, mendingan kita fokus saja ke perekonomian domestik yang harus kita benahi,” sebut Anton.
Anton ikut menyoroti efek Trump 2.0 maka situasi ekonomi global bisa semakin tidak menentu. Ia membandingkan era Trump 1.0 dengan 2.0.
Menurut Anton, pada periode pertama pemerintahan Trump, ekonomi global masih cukup kuat, terutama karena Amerika dan Tiongkok berada dalam posisi ekonomi yang solid. Namun, pada era kedua ini, inflasi diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonominya.
"Kalau perang dagang terus berlanjut, inflasi di AS bisa melesat dari 2,7% ke 4,7%, bahkan dalam skenario pesimis bisa mencapai 5,9%," katanya. Hal ini dikhawatirkan menjadi tekanan bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Situasi ini menurut Anton bisa berdampak pada kebijakan moneter Bank Indonesia. “Penurunan suku bunga acuan akan semakin terbatas kalau inflasinya melonjak. Bahkan, bisa saja terjadi penurunan lebih lanjut tergantung situasi global,” ujarnya.
Ia juga menyinggung bahwa stabilisasi harga menjadi tantangan utama pemerintah AS saat ini. Dalam konteks global, Anton menilai bahwa ketidakpastian sangat tinggi, terlebih dengan masih berlangsungnya ketegangan dagang.
Anton pun menyarankan agar Indonesia tidak terlalu larut dalam situasi eksternal dan lebih fokus membenahi ekonomi domestik. "Kita tidak bisa terlalu bergantung pada kondisi luar. Yang bisa kita lakukan adalah memperkuat sektor domestik dan menjaga iklim investasi tetap aman," imbuhnya.
Proyeksi Ekonomi RI di Tengah Gejolak Ekonomi
Dalam riset terbarunya, Anton mengatakan BRI Research Institute memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 berada di kisaran 4,72% hingga 5,03%. Target ini lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang berada di atas 5%.
Inflasi diperkirakan tetap terkendali dalam rentang 2,08% hingga 2,38%, mencerminkan stabilitas harga domestik, terutama pada sektor pangan dan energi. Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diproyeksikan melemah ke kisaran Rp 16.771 hingga Rp 17.233 per dolar AS, seiring dengan ketidakpastian global dan potensi capital outflow.
Di sisi kebijakan moneter, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) diperkirakan menurun ke level 5,50% hingga 5,75% pada 2025. Angka ini mengikuti tren penurunan suku bunga global, termasuk Federal Funds Rate (FFR) yang diprediksi berada di kisaran 4,00% hingga 4,25%.
Menurut Anton, penurunan suku bunga ini membuka ruang bagi pemulihan kredit, yang diperkirakan tumbuh antara 9,82% hingga 10,81%. Adapun pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) diproyeksikan meningkat ke 4,80% hingga 5,68%.
Anton menilai bahwa Indonesia masih memiliki sejumlah faktor pendukung (tailwinds), seperti tren inflasi global yang mulai mereda dan potensi arus modal masuk seiring pelonggaran moneter global. Di sisi domestik, potensi penurunan BI Rate dan kebijakan fiskal yang lebih sinkron serta pro-growth menjadi modal penting dalam menjaga momentum pemulihan sektor riil.
Di sisi lain, ia juga mengingatkan adanya sejumlah risiko (headwinds), baik dari eksternal maupun internal. Secara global, ketidakpastian geopolitik dan fragmentasi perdagangan akibat kebijakan proteksionis Amerika Serikat masih menjadi ancaman.
Di sisi domestik, tantangan struktural seperti stagnasi pendapatan masyarakat, ketimpangan pasar tenaga kerja, dan tekanan pada nilai tukar rupiah berpotensi menahan laju pemulihan ekonomi. Lebih jauh, Anton mengungkapkan adanya persoalan struktural dalam perekonomian Indonesia sendiri.
Ia menyebut pertumbuhan pendapatan masyarakat yang stagnan menjadi masalah utama. "Keterbatasan pendapatan menyebabkan konsumsi rumah tangga melemah, terutama di kalangan kelas menengah ke bawah. Ini berdampak pada daya beli yang menurun dibandingkan sebelum pandemi COVID-19," ujar Anton.
Anton menambahkan bahwa Indonesia perlu memperkuat sektor domestik sebagai tameng menghadapi guncangan eksternal. Menurutnya, menjaga daya beli masyarakat, mempercepat reformasi struktural, dan memastikan iklim investasi tetap kondusif adalah kunci untuk mempertahankan stabilitas ekonomi nasional.