Soedradjad Djiwandono: RI Harus Netral di Tengah Perang Dagang AS-Cina


Ekonom senior sekaligus mantan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono mengingatkan pentingnya posisi netral Indonesia dalam menjaga hubungan dengan Amerika Serikat (AS) dan Cina di tengah ketegangan perang dagang global.
“Kita tidak boleh terlalu dekat dengan AS atau Cina,” ujar Soedradjad dalam diskusi Kagama bertajuk Trump Effect di Gedung RRI, Jakarta, Rabu (14/5).
Menurutnya, Indonesia bisa meniru cara Singapura dalam menjalin hubungan luar negeri. Singapura bisa bersahabat dengan semua negara tanpa memihak atau membuat masalah.
Ia menilai dunia saat ini berada dalam sistem interdependensi yang sangat kompleks. "Dalam rantai pasok dunia, satu simpul kecil yang putus bisa melumpuhkan seluruh sistem,” ujarnya.
Contohnya, efek domino dari kebijakan tarif tinggi AS terhadap mitra dagangnya seperti Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa.
Meski begitu, dia mengapresiasi langkah diplomasi ekonomi Indonesia yang dinilainya semakin aktif dan strategis. Ia menyoroti kunjungan delegasi Indonesia ke Washington DC yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto serta pendekatan ekonomi Indonesia ke BRICS.
“Fakta bahwa kita sekarang bisa membeli minyak dari Rusia dengan rupiah adalah upaya luar biasa untuk menghemat cadangan devisa,” katanya.
Ia menekankan, Indonesia harus tetap adaptif dan mampu menyesuaikan diri dengan dinamika global yang terus berubah.
Kritik Gaya Kepemimpinan Trump
Soedradjad juga mengkritik gaya kepemimpinan Presiden Donald Trump yang dinilainya merugikan AS dan mengganggu stabilitas ekonomi global. Ia menilai pendekatan unilateral Trump sangat berbahaya.
“Trump sering membuat keputusan penting saat setengah tidur. Bahkan penasihat ekonominya, Peter Navarro, yang bergelar doktor dari Harvard pun tak mampu mengimbangi keputusan absurd seperti menaikkan tarif impor hingga 140%,” ujar Soedradjad.
Ia menyebut kebijakan proteksionis Trump sebagai langkah kontraproduktif. Janji menurunkan inflasi dan membuka lapangan kerja, namun tidak pernah terwujud.
“Bahkan popularitas Trump di kalangan pemilih kulit hitam hanya 14%,” ucapnya.