Metode BPS Dinilai Usang, Pemerintah Bakal Revisi Batas Garis Kemiskinan RI


Anggota Dewan Ekonomi Nasional Arief Anshory Yusuf mengungkapkan bahwa pemerintah saat ini sedang merevisi batas garis kemiskinan nasional. Metodologi yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) dianggap sudah usang dan tidak lagi mencerminkan kondisi serta tantangan ekonomi masyarakat saat ini.
“Ini penting untuk dipahami bahwa menaikkan standar garis kemiskinan merupakan praktik yang wajar dan biasa saja,” kata Arief kepada Katadata.co.id, Selasa (10/6).
Menurut Arief, BPS bersama kementerian dan lembaga terkait kini sedang menyusun penyempurnaan metodologi garis kemiskinan. “Harapannya, dalam waktu dekat atau tahun ini kita akan memiliki acuan yang baru dan lebih mencerminkan realitas,” ujarnya.
Alasan Revisi Garis Kemiskinan
Arief menjabarkan lima alasan utama mengapa Indonesia perlu memperbarui garis kemiskinannya.
1. Terlalu Dekat dengan Garis Kemiskinan Ekstrem Global
Batas garis kemiskinan Indonesia saat ini masih terlalu dekat dengan standar kemiskinan ekstrem global yang digunakan oleh negara-negara berpendapatan paling rendah. Padahal, Indonesia telah masuk kelompok negara berpendapatan menengah.
Bank Dunia telah merevisi standar perhitungan kemiskinan dan ketimpangan per Juni 2025. Dampaknya, angka kemiskinan Indonesia tahun 2024 melonjak signifikan. Berdasarkan pembaruan data menggunakan Purchasing Power Parities (PPP) 2021 yang diperbarui pada 6 Juni 2025, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 194,67 juta jiwa.
Salah satu perubahan penting adalah kenaikan ambang garis kemiskinan ekstrem dari US$ 2,15 menjadi US$ 3,00 per orang per hari. Dengan nilai tukar PPP 2024 sebesar Rp 6.071 per dolar AS, garis ini setara dengan Rp 18.213 per hari atau sekitar Rp 546.400 per bulan.
2. Perubahan Standar Hidup
Standar hidup masyarakat Indonesia telah berubah drastis sejak 1998. Apa yang dianggap cukup untuk hidup layak pada akhir 90-an jelas berbeda dengan kebutuhan saat ini.
3. Negara Setara Sudah Lebih Maju
Sejumlah negara yang selevel dengan Indonesia telah lebih dulu memperbarui garis kemiskinan mereka, seperti Malaysia pada 2018 dan Vietnam pada 2021.
4. Risiko Kesalahan Arah Kebijakan
Jika angka kemiskinan yang digunakan tidak mencerminkan realitas, maka kebijakan ekonomi yang berbasis data tersebut berisiko salah arah. Hal ini bisa membuat intervensi pemerintah menjadi tidak tepat sasaran.
5. Penurunan Legitimasi Statistik Publik
Legitimasi publik terhadap statistik kemiskinan bisa menurun jika tidak mencerminkan kenyataan hidup masyarakat. “Ini membuat kepercayaan masyarakat kepada statistik dan akhirnya kepada pemerintah tergerus,” ujar Arief.
Standar Ideal Garis Kemiskinan Baru
Indonesia saat ini berstatus negara berpendapatan menengah atas (upper middle income country atau UMIC), menurut data Bank Dunia per 1 Juli 2023. Namun standar garis kemiskinan UMIC yang mencapai Rp 1,5 juta per bulan terlalu tinggi untuk diterapkan sekarang.
“Indonesia bisa mulai dengan mengadopsi standar negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income countries atau LMIC) dari Bank Dunia, yakni US$ 4,20 per orang per hari atau sekitar Rp 765 ribu per bulan,” kata Arief.
Angka ini jauh lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional saat ini yang hanya Rp 595 ribu per bulan. Jika garis kemiskinan dinaikkan ke sekitar Rp 765 ribu, maka angka kemiskinan Indonesia akan naik ke sekitar 20%.
Namun, Arief menilai langkah ini penting agar data yang dihasilkan mencerminkan kondisi riil masyarakat dan menjadi dasar kebijakan yang lebih akurat.
Kritik Terhadap Metodologi BPS
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar menilai metode pengukuran kemiskinan BPS sudah tidak relevan.
“BPS masih bertumpu pada dua pilar lama yaitu garis kemiskinan berbasis kecukupan kalori dan indikator kesejahteraan berbasis pengeluaran. Ini pendekatan yang sah di era 1970-an,” kata Media dalam diskusi Celios di Jakarta, Rabu (28/5).
Metode tersebut telah digunakan selama lima dekade sejak pengukuran kemiskinan pertama kali dilakukan oleh BPS. Akibatnya, data BPS sering kali berbeda jauh dengan temuan Bank Dunia.
Per September 2024, BPS mencatat hanya 8,57% penduduk Indonesia dalam kondisi miskin, atau sekitar 24,06 juta jiwa. Pengukuran ini menggunakan pendekatan kebutuhan dasar atau jumlah rupiah minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan.
Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari. Komponen ini disusun dari komoditas umum, seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia.
Sementara komponen nonmakanan meliputi kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.