Belum Ada Kesepakatan Tarif, Ekonom Was-was RI Mau Impor Produk Energi dari AS


Beberapa ekonom mengingatkan pemerintah atas potensi risiko, jika memutuskan untuk mengimpor produk energi dan pertanian dari Amerika Serikat. Alasannya, belum ada kesepakatan mengenai tarif impor atas kebijakan Presiden Donald Trump.
Pemerintah saat ini masih menggelar negosiasi dengan Amerika, agar mau menurunkan tarif resiprokal. Trump menerapkan tarif dasar 10% untuk semua negara yang berlaku sejak 5 April.
Trump juga mengenakan tarif resiprokal kepada sejumlah negara yang akan berlaku 9 Juli, salah satunya Indonesia 32%. Salah satu tawaran pemerintah dalam negosiasi yakni berencana mengimpor komoditas energi dan agrikultur dari Amerika.
“Keputusan mengimpor komoditas energi dan agrikultur dari Amerika terlalu prematur, karena poin-poin kesepakatan tarif dengan AS masih dibahas,” kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies alias Celios Bhima Yudhistira kepada Katadata.co.id, Jumat (4/7).
Rencananya pemerintah akan melakukan penandatanganan pada 7 Juli di AS, dengan nilai komoditas yang diimpor US$ 34 miliar atau Rp 550,63 triliun (kurs Rp 16.195 per dolar AS).
“Kalau Indonesia hanya ingin menunjukkan gestur menjinakkan keinginan AS dengan melakukan impor lebih dulu, ini khawatir akan langsung menekan neraca perdagangan,” Bhima menambahkan.
Bhima mencontohkan perlunya kajian membandingkan harga komoditas dari Amerika dengan negara pengimpor saat ini. Jika lebih mahal, maka hal ini akan membebani anggaran subsidi energi dan pertanian.
“APBN akan lebih lebar defisitnya jadi harus ada kalkulasi ke sana sebelum impor,” ujar Bhima.
Hal senada disampaikan oleh Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin. “Jangan sampai sudah terlanjur menandatangani komitmen untuk membeli produk mereka, sementara Trump belum menyepakati kebijakan tarif untuk Indonesia,” kata dia.
Menurut dia, penandatanganan komitmen impor dan kesepakatan soal besaran tarif resiprokal harus dilakukan bersamaan.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics atau CORE Indonesia Mohammad Faisal pun menilai rencana impor komoditas dari AS berisiko.
“Tentu saja risikonya besar, karena tarif impor sekarang ini rata-rata 30%, dengan tarif terendah 20% dan tertinggi kalau tidak salah 47%,” kata Faisal.
Selain dampaknya ke neraca dagang, ia waspadai efek negatif ke industri dalam negeri. “Agrikultur itu justru komoditas sensitif yang semestinya diperhatikan untuk tidak sampai merugikan petani domestik,” ujar Faisal.