Kena Tarif 19% dari AS, RI Dinilai Punya Peluang Geser Pasar Ekspor Vietnam

Ferrika Lukmana Sari
24 Juli 2025, 19:40
Tarif
Katadata
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mochamad Firman Hidayat (kiri) dalam acara Katadata Policy Dialogue di Jakarta, Kamis (24/7).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mochamad Firman Hidayat mengatakan bahwa tarif impor produk Indonesia ke Amerika Serikat (AS) saat ini sudah lebih kompetitif dibandingkan banyak negara pesaing.

Ia menilai hal ini dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk mendorong ekspor dan menarik relokasi investasi dari negara lain. Salah satu negara pesaing Indonesia adalah vietnam. 

“Yang jelas-jelasnya, target kita adalah kita harus lebih rendah dibandingkan dengan kompetitor. Sementara kita dapat 16% dan salah satu yang paling rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama negara-negara kompetitor,” ujar Firman dalam Katadata Policy Dialogue di Jakarta, Kamis (24/7).

Ia menjelaskan bahwa negosiasi tarif bukan sekadar soal angka, melainkan juga soal dampak menyeluruh terhadap perekonomian, terutama terhadap sektor-sektor padat karya. Beberapa sektor yang sangat tergantung pada pasar AS antara lain tekstil, garmen, alas kaki, hingga udang.

“Sektor-sektor ini ketergantungan terhadap pasar AS cukup tinggi. Apalagi kalau S61 (tekstil) lebih dari 60% ke AS ekspornya. Udang itu 57%,” katanya.

Lebih Rendah dari Vietnam

Dengan tarif impor 16% yang lebih rendah dari Vietnam sebesar 20%, Indonesia memiliki peluang besar untuk merebut pangsa pasar dari negara pesaing.

“Artinya apa? Dengan posisi yang lebih kompetitif, kita harusnya ambil market share negara-negara kita. Dan kita sudah lihat, kita ngobrol sama asosiasi, sudah ada. Misalkan, order dari Cina dan Vietnam yang akhirnya dipisahkan ke Indonesia,” kata Firman.

Menurut Firman, simulasi ekonomi yang dilakukan DEN menunjukkan bahwa penurunan tarif bisa berdampak positif, asalkan didukung perbaikan iklim investasi dan regulasi di dalam negeri.

Salah satunya didukung oleh KDB yang merupakan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). KDB mencerminkan seberapa besar dampak suatu sektor atau kebijakan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Driver utama dari kenaikan KDB itu adalah investasi. Investasinya naik, ekspornya juga masuk ke negatif lagi lebih baik, dan ini yang akhirnya memutuskan KDB dan tenaga kerjanya malah semakin banyak yang diserap,” katanya.

Simulasi tersebut menunjukkan bahwa apabila relokasi investasi benar-benar terjadi, pertumbuhan ekonomi bisa meningkat hingga 1,3%.

“Kalau kita jaga tarif lebih baik, kita positif kurang lebih 1,3 persen. Cuma kan asumsinya tadi kan, simulasi bilang ini akan ada relokasi investasi,” kata Firman.

Namun, ia mengingatkan bahwa keunggulan tarif saja tidak cukup. Reformasi birokrasi dan regulasi harus terus didorong agar Indonesia tidak tertinggal dari negara pesaing seperti Vietnam.

“Ketika kita sekarang sudah dapat tarif lebih baik dibandingkan negara lain, tapi negara lain terus melakukan perbaikan. Vietnam birokrasinya dibuat lebih efisien, perizinan dibikin lebih mudah,” ujarnya.

Untuk itu, ia menekankan pentingnya menjadikan momentum negosiasi ini sebagai pemicu reformasi ekonomi nasional yang lebih luas.

“Permintaan-permintaan dari policy support dari negara-negara lain bisa menjadi katalisator, akselerator untuk proses reformasi Indonesia,” kata Firman.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ferrika Lukmana Sari

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...