OJK Ungkap Laporan Kasus Scam Capai 800 per Hari, Lampaui Singapura-Malaysia

Ferrika Lukmana Sari
19 Agustus 2025, 19:36
OJK
ANTARA/Rizka Khaerunnisa
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi dalam acara \"Launching Kampanye Nasional Berantas Scam dan Aktivitas Keuangan Ilegal di Jakarta, Selasa (19/8/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rata-rata laporan penipuan atau scam yang masuk ke Indonesia Anti Scam Centre (IASC) mencapai 700–800 per hari. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan negara tetangga seperti Singapura, Hong Kong, dan Malaysia.

“Mungkin kalau di Singapura sekitar 140–150 laporan masyarakat soal scam. Tapi di Indonesia itu 700–800 aduan setiap hari. Padahal ini belum semua masyarakat tahu bagaimana mengadu,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, di Jakarta, Selasa (19/8).

Sejak November 2024 hingga 17 Agustus 2025, IASC menerima 225.281 laporan dengan total kerugian dana mencapai Rp4,6 triliun. Dari jumlah itu, dana korban yang berhasil diblokir mencapai Rp349,3 miliar. Sementara, jumlah rekening yang dilaporkan mencapai 359.733, dan rekening yang diblokir sebanyak 72.145.

Friderica menegaskan, penipuan keuangan bukan masalah khusus Indonesia saja, melainkan fenomena global. Salah satu tantangan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang sangat banyak dibandingkan negara tetangga.

Dana korban dilarikan penipu secara multilayer dan beragam format, tidak hanya melalui rekening bank, tetapi juga platform e-commerce, dompet digital, hingga kripto.

"Oleh sebab itu, asosiasi pedagang kripto dan pihak lainnya kami harapkan berpartisipasi aktif untuk memberantas scam di sektor jasa keuangan,” kata Friderica.

Siapa Saja Bisa Jadi Korban Penipuan

Friderica juga menekankan, siapapun bisa menjadi korban penipuan, tanpa memandang tingkat pendidikan atau jabatan. Indeks literasi keuangan di Indonesia saat ini masih berada di bawah indeks inklusi keuangan, masing-masing sebesar 66,46% dan 80,51%.

“Masyarakat kita sudah terpapar digitalisasi, tetapi digital financial literacy-nya masih belum cukup tinggi. Jadi itu yang harus terus kita dorong, supaya mereka yang sudah menggunakan layanan keuangan digital tidak menjadi korban,” ujar Friderica.

Kecepatan laporan juga menjadi kunci penyelamatan dana. Sayangnya, rata-rata masyarakat Indonesia baru melapor ke IASC setelah 12 jam sejak kejadian. Padahal di negara lain, korban bisa melapor dalam waktu 15 menit, sehingga peluang dana bisa diselamatkan jauh lebih tinggi.

Friderica mengajak seluruh pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) untuk berkontribusi dan bekerja sama dalam memanfaatkan teknologi guna meningkatkan perlindungan konsumen.

Selain itu, ia menekankan pentingnya menjadikan platform digital sebagai sarana edukasi dan pelayanan, sekaligus memperkuat kepercayaan publik. “Para scamer semakin canggih. Jadi kita tidak boleh kalah,” kata Friderica.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Antara

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...