BI Ramal The Fed Pangkas Suku Bunga 2 Kali, Soroti Dampak Tarif Trump ke Ekonomi

Rahayu Subekti
20 Agustus 2025, 17:34
Trump
ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/Spt.
Gubernur Bank Indonesa Perry Warjiyo menjawab pertanyaan wartawan saat konferensi pers hasil rapat Dewan Gubernur di Gedung Thamrin Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (19/3/2025). Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 5,75 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,00 persen dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50 persen sebagai upaya menjaga prakiraan inflasi 2025 dan 2026 tetap terkendali.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menilai kebijakan moneter sejumlah bank sentral dunia kini cenderung akomodatif. Ia memperkirakan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) masih membuka ruang pemangkasan suku bunga hingga akhir 2025.

“Kami perkirakan Fed Funds Rate di semester II ini akan menurun dua kali. Masing-masing 25 basis poin,” kata Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Agustus 2025, Rabu (20/8).

Perry meyakini peluang pemangkasan suku bunga The Fed juga semakin tinggi. Hal ini sebagai dampak dari kondisi pertumbuhan ekonomi global.

Tarif Trump Tekan Ekonomi Global

Menurut Perry, pelemahan ekonomi global dipicu oleh meluasnya kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS). Sejak 7 Agustus 2025, cakupan tarif tersebut bertambah dari 44 negara menjadi 70 negara, dengan beban tarif pada sebagian negara seperti India dan Swiss lebih tinggi dari pengumuman semula.

“Implementasi tarif resiprokal AS menimbulkan risiko semakin melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia,” ujar Perry.

Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2025 berpotensi lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, yakni hanya di kisaran 3,0%. Tekanan ini diperkirakan masih berlanjut hingga 2026.

Secara khusus, Perry menyebut prospek ekonomi AS akan lebih rendah sejalan dengan pelemahan permintaan domestik. Di India, dampak tarif yang lebih tinggi menekan kinerja ekspor dan sektor manufaktur.

Sebaliknya, ekonomi Eropa, Jepang, dan Cina diproyeksikan lebih baik. Hal ini didorong oleh kesepakatan tarif yang lebih rendah serta dukungan belanja fiskal.

Perry menambahkan, kecenderungan pertumbuhan global yang melambat dan inflasi yang menurun mendorong sebagian besar bank sentral menempuh kebijakan moneter yang lebih akomodatif, dengan pengecualian Jepang.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rahayu Subekti

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...