Penyebab Pertumbuhan Ekonomi Bisa Tembus 5% di Tengah Daya Beli Lesu
Pertumbuhan produk domestic bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II 2025 tercatat sebesar 5,12% secara tahunan atau year on year (yoy). Banyak pengamat meragukan angka ini karena terjadi di tengah lesunya ekonomi karena semua indikator mengalami penurunan.
Namun menurut Policy and Program Director Lembaga Riset Prasasti, Piter Abdullah, Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung dengan ribuan indikator. Ia yakin data konsumsi rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi yang dirilis oleh BPS bukan hasil rekayasa dan valid untuk dijadikan rujukan.
“Apalagi, BPS menggunakan leading indicator yang jauh lebih banyak dibanding yang digunakan oleh para pengamat,” kata Piter dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/8).
Tanda Lesunya Ekonomi
Sejumlah indikator memang menunjukan adanya penurunan ekonomi. Piter mencontohkan penjualan mobil, indikator yang seringkali digunakan oleh para pengamat untuk mengukur daya beli masyarakat.
“Penjualan mobil tahun 2025 mengalami penurunan tajam,” kate Piter.
Data Gaikindo menunjukkan penjualan ritel mobil baru pada semester I 2025 turun 9,7% dibandingkan periode yang sama tahun 2024. Penjualan wholesales juga mengalami penurunan sebesar 8,6%.
“Penurunan ini diklaim karena adanya pelemahan daya beli masyarakat,” ujar Piter.
Di sisi lain, tingkat konsumsi masyarakat juga diklaim mengalami penurunan karena masifnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara nasional. Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, sepanjang Januari hingga Juni 2025, tercatat ada 42.385 pekerja yang mengalami PHK.
Indikator lain yang seolah mengkonfirmasi adanya penurunan daya beli dan konsumsi masyarakat adalah munculnya fenomena rombongan jarang beli atau Rojali dan rombongan hanya nanya-nanya alias Rohana di banyak mal di Indonesia.
Penilaian BPS Lebih Valid
Meski begitu, Piter mengatakan BPS menghitung PDB RI dengan banyak indikator. Jika merujuk keterangan dari Wakil Kepala BPS Sonny B Harmadi, jumlah indikator yang digunakan oleh BPS hingga muncul angka 5,12% yakni sebanyak 1.058 indikator.
“Sementara, kita para pengamat biasanya hanya menggunakan tujuh sampai 12 indikator. Tentu penilaian BPS jauh lebih valid,” kata
Untuk itu, Piter menegaskan data pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12% seharusnya dipandang positif. Meskipun sejumlah indikator ekonomi menunjukkan tren pelemahan.
"Menurut saya sebagai ekonom, angka yang wajar untuk tingkat perekonomian kita saat ini," ujar Piter.
Perubahan Pola Konsumsi Masyarakat
Terkait penurunan penjualan mobil, Piter mengatakan, meski penjualan mobil menurun namun mobilitas masyarakat justru naik. Berdasarkan data dari Kementerian Perhubungan, mobilitas masyarakat pada kuartal I 2025 meningkat sebesar 12,5% dibandingkan dengan kuartal I tahun 2024.
“Ini ada perubahan struktur perilaku masyarakat, khususnya Gen Z dan milenial dalam membelanjakan uangnya. Mereka tidak membeli mobil tapi lebih memilih menggunakan angkutan umum,” kata Piter. Selain itu, penjualan emas juga mengalami kenaikan. Berdasarkan data dari PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM), penjualan emas pada kuartal I 2025 sebesar 35,6 ton. Angka ini meningkat sebesar 20,5% dibandingkan dengan kuartal I 2024 yang sebesar 29,5 ton.
“Yang menarik, di tahun 2025, banyak masyarakat yang rela antre untuk membeli emas Antam. Artinya apa? Mereka masih memiliki daya beli, meski bukan untuk beli rumah,” ujar Piter.
Shifting Ekonomi Digital
Pola belanja masyarakat juga mengalami perubahan, yakni dari offline menjadi online. Menurut Piter hal ini yang menjadi alasan munculnya fenomena Rohana dan Rojali.
“Mengapa orang memilih beli secara online? Karena lebih murah. Sehingga pergi ke mal hanya untuk makan atau jalan-jalan,” kata Piter.
Piter menilai ada shifting ekonomi digital yang menjadi faktor penopang pertumbuhan ekonomi di saat masifnya PHK karyawan. Ia mencontohkan keberadaan platform seperti Gojek, Grab, Maxim, dan inDrive yang mampu menyerap pekerja terdampak PHK sebagai pekerja lepas berbasis digital.
"Artinya, itu tetap membantu mereka mendapatkan penghasilan dan tetap untuk konsumsi," ujarnya.
Oleh karena itu, Piter mengatakan perlu dilakukan rekonstruksi cara pandang dalam menghitung pertumbuhan ekonomi nasional. Khususnya untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dan komprehensif.
