Mengenang Arif Budimanta dan Gagasannya pada Ekonomi Pancasila
Ekonom sekaligus politisi PDI-P Arif Budimanta meninggal dunia dalam usia 57 tahun pada Sabtu (6/9) pukul 00.06 WIB. Ia dikenal dengan gagasan ekonomi Pancasila kerap menyuarakan isu-isu pembangunan dan UMKM, serta pernah menjadi staf khusus di era Presiden Joko Widodo.
Rektor Universitas Paramadina sekaligus Ekonom Senior Indef Didik J Rachbini mengenang Arief sebagai sosok aktivis, akademisi, sekaligus politisi yang memiliki fokus pada isu ketimpangan, UMKM, investasi, dan keberlanjutan. Arief kerap menuliskan pemikirannya dalam buku maupun artikel yang dimuat di Media Massa.
"Arif adalah adik kelas saya di IPB dan kepergiannya terlalu cepat karena masih muda usia. Tetapi takdir tidak bisa kita tolak sehingga kita ikhlas melepas kepergiannya," ujar Didik dalam pesan singkat kepada media, Sabtu (6/9).
Arif adalah akademisi yang turut berkiprah di bidang politik melalui PDI-P. Ia pernah menjadi anggota DPR 2009-2014 dan menekuni think tank dari PDIP, yaitu Megawati Institut. Pemikiran Arif terutama, mencakup ekonomi politik, Pancasila, dan kebijakan publik. Beberapa karyanya, antara lain: Pancasilanomics: Ekonomi Pancasila dalam Gerak” (2019).
Buku tersebut membahas bagaimana nilai-nilai Pancasila bisa menjadi landasan sistem ekonomi Indonesia yang adil, inklusif, dan berdaulat. Arif juga menulis buku “Arsitektur Ekonomi Indonesia”, yang mengkritisi arah pembangunan yang terlalu liberal dan mengusulkan desain ekonomi berbasis konstitusi (Pasal 33 UUD 1945).
Meski tak masuk lingkaran dalam Megawati selama berkiprah di PDI-P. Ia aktif memotori Think tank di dalam partai ini, sebagai Direktur Eksekutif Megawati Institute sejak 2008 hingga saat ini. Dalam kapasitas intelektualitas seperti ini, ia aktif menyampaikan pemikiran-pemikiran ekonomi serta menginisiasi diskusi penting, termasuk meluncurkan gagasan seperti Pancasilanomics untuk memperkuat ekonomi berbasis nilai-nilai Pancasila.
Di DPR pada periode 2009-2014, menurut Didik, Arif dan rekan-rekannya aktif dalam gerakan sunyi, yakni menghidupkan ekonomi konstitusi. Indikator kesejahteraan rakyat harus menjadi tujuan utama, bukan sekedat pertumbuhan ekonomi berbasis kebijakan yang liberal. Arif dikenal karena menginisiasi kaukus ini, yang bertujuan memasukkan indikator kesejahteraan masyarakat ke dalam proses penyusunan APBN, bekerja sama dengan lintas fraksi.
Di sisi lain, Arif Budimanta juga punya peran di dalam ranah sosial dan pendidikan, yakni sebagai pengurus yayasan wakaf paramadina, yang membawahkan Universitas Paramadina.
Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang Suroto mengenang Arif sebagai satu dari sedikit ekonom Indonesia yang menempatkan dirinya di garis depan upaya membela sistem ekonomi konstitusi atau demokrasi ekonomi, sistem yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.
Pertemuan pertamanya dengan Arif terjadi sekitar delapan tahun lalu. Menurut dia, setiap gagasan Arif selalu menghadirkan perspektif berbeda, menembus batas angka-angka statistik dan membuka ruang diskusi baru tentang esensi ekonomi kerakyatan.
"Sikap ini bukanlah pilihan yang mudah karena berada pada posisi berseberangan dengan arus utama kapitalisme yang telah lama mengakar dan sering kali menguntungkan kelompok elite politik dan ekonomi tertentu," kata Suroto seperti dikutip dari Antara.
Analisisnya tidak hanya kritis, tetapi juga menghadirkan solusi yang menyentuh persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat kecil.
Pandangannya konsisten bahwa ekonomi tidak semata persoalan angka dan grafik, melainkan menyangkut keberlangsungan hidup petani, nelayan, perajin, dan pedagang kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Sebagai seorang ekonom strukturalis, Arif berpegang pada keyakinan bahwa kebijakan ekonomi harus berpihak pada mereka yang termarjinalkan. Ia menolak pendekatan ekonomi yang hanya berfokus pada indikator makro yang sering kali menutupi ketimpangan dan kerentanan di tingkat mikro.
Pendekatannya selalu holistik untuk memadukan analisis data, kebijakan, dan dampak sosial, tanpa pernah melupakan dimensi kemanusiaan.
Kini, Arif Budimanta, sang penjaga gawang ekonomi Pancasila itu, telah pergi, meninggalkan duka mendalam bagi dunia ekonomi Indonesia. Menurut Suroto, kehilangannya bukan hanya dirasakan oleh keluarga, para kolega dan sahabat, tetapi juga oleh bangsa yang membutuhkan pemikiran-pemikiran kritis dan solutif seperti miliknya.
Arif telah memberikan teladan tentang bagaimana seorang ekonom dapat memadukan ilmu, keberpihakan, dan integritas. Ia tidak sekadar menjadi akademisi atau pejabat, melainkan seorang pejuang yang konsisten memperjuangkan amanat konstitusi dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Warisan pemikirannya tentang ekonomi Pancasila menjadi penting untuk terus dihidupkan. Dalam konteks pembangunan Indonesia hari ini, gagasan Arif relevan untuk menjawab tantangan ketimpangan, eksploitasi sumber daya, dan lemahnya perlindungan terhadap kelompok rentan.
Ekonomi Pancasila yang ia perjuangkan menuntut keseimbangan antara efisiensi pasar dan pemerataan kesejahteraan, antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan sosial, serta antara kepentingan individu dan kebersamaan kolektif. Gagasan ini bukan sekadar wacana, tetapi juga panduan praktis untuk membangun kebijakan publik yang lebih adil dan inklusif.
