Aliansi Ekonom Desak Pemerintah Perbaiki Misalokasi Anggaran dan Pulihkan TKD

Rahayu Subekti
10 September 2025, 11:38
anggaran
ANTARA FOTO/Reno Esnir/app
Kuli memanggul karung berisi sayuran di Pasar Induk Senen, Jakarta, Senin (1/9/2025). Meskipun belum seramai biasanya, sejumlah pedagang setempat menyebutkan aktivitas jual beli di lokasi tersebut berangsur normal pascaunjuk rasa yang berakhir ricuh beberapa hari lalu.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Aliansi Ekonom Indonesia, yang beranggotakan para ekonom dan akademisi di bidang ekonomi, menyampaikan sejumlah desakan terkait kondisi darurat ekonomi. Salah satu poin utama adalah mendesak pemerintah segera memperbaiki misalokasi anggaran.

"Perbaiki secara menyeluruh misalokasi anggaran yang terjadi dan tempatkan anggaran pada kebijakan dan program secara wajar dan proporsional," kata Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky dalam konferensi pers secara daring, Selasa (9/9). 

Riefky, ekonom yang tergabung dalam aliansi tersebut, mengatakan bahwa perbaikan misalokasi anggaran dapat dilakukan melalui beberapa langkah. 

Kurangi Belanja untuk Program Populis

Riefky mendesak pemerintah untuk secara signifikan mengurangi porsi belanja pada program-program populis. Menurutnya, langkah tersebut bisa dilakukan dengan meninjau ulang anggaran sejumlah program prioritas pemerintah.

Pengurangan anggaran dapat dilakukan melalui alokasi APBN 2026 untuk sejumlah program populis, seperti makan bergizi gratis, Koperasi Desa Merah Putih, subsidi dan kompensasi energi, sekolah rakyat, serta program tiga juta rumah. 

"Yang semuanya ini mencapai Rp 1.414 triliun atau setara dengan 37.4% dari total belanja APBN," kata Riefky. 

Normalisasi Porsi TKD

Aliansi Ekonom Indonesia juga mendesak pemerintah agar mengembalikan dana transfer ke daerah (TKD) ke porsi semestinya. Sebab, pengurangan TKD dinilai berdampak negatif bagi sejumlah daerah.

"Kenaikan drastis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di beberapa daerah merupakan salah satu implikasi Inpres 1 Tahun 2025 yang memangkas TKD 5,6% dari nilai awal APBN 2025," ujar Riefky. 

Selain itu, penurunan TKD sebesar 24,8% yang tercantum dalam RAPBN 2026 dinilai dapat mempersulit pemerintah daerah dalam menjalankan pelayanan kepada masyarakat. Kebijakan ini juga berpotensi mendorong kenaikan pajak daerah yang justru akan membebani masyarakat.

Penyesuaian Penanganan Masalah Gizi

Riefky juga meminta pemerintah menyesuaikan kebijakan penanganan tiga masalah gizi—stunting, obesitas, dan kekurangan gizi mikro berdasarkan bukti. Dengan begitu, program Makan Bergizi Gratis (MBG) dapat direformasi agar sesuai dengan tujuan awal.

Ia menilai alokasi anggaran MBG yang mencapai Rp171 triliun pada 2025 dan Rp335 triliun pada 2026 terlalu besar dan tidak realistis. “Bahkan hampir 44% dari anggaran pendidikan. Alokasi tersebut berisiko tidak terserap karena infrastruktur pelaksanaan program skala besar belum siap,” kata Riefky.

Menurutnya, anggaran MBG sebaiknya dialihkan untuk memperkuat pemerataan layanan kesehatan dasar, meningkatkan kesejahteraan tenaga medis, memperbaiki kualitas pendidikan serta kesejahteraan guru, dan memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga miskin, seperti air bersih dan listrik.

Kembalikan Alokasi Dana Pendidikan

Aliansi Ekonom Indonesia juga meminta pemerintah untuk mengembalikan dana pendidikan sesuai amanat UUD 1945. 

"Gunakan anggaran pendidikan untuk perluasan akses dan peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini (PAUD), perluasan akses ke sekolah negeri untuk jenjang menengah pertama dan atas, dan peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah," ujarnya. 

Selain itu, anggaran pendidikan juga dapat digunakan untuk perbaikan desain dan nilai remunerasi guru dan dosen. Begitu juga untuk peningkatan kualitas dan pendanaan pendidikan tinggi, dan perbaikan tata kelola serta rasionalisasi unit cost Pendidikan Tinggi Kementerian Lain (PTKL).

"Saat ini, dana pendidikan masih meliputi berbagai program, seperti MBG yang tidak relevan dengan konteks pembangunan pendidikan," kata Riefky. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rahayu Subekti

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...