Ekonom Ingatkan Risiko Utang Kian Membengkak di Era Prabowo
Sejumlah ekonom mengingatkan pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam mengelola utang. Pasalnya, dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026, defisit melebar dari Rp638,81 triliun menjadi Rp689,15 triliun, atau setara 2,68% dari produk domestik bruto (PDB).
“Untuk pengelolaan utang, strategi ke depan harus fokus pada diversifikasi instrumen, memperpanjang tenor, dan meminimalkan eksposur valuta asing,” kata Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet, kepada Katadata.co.id, Kamis (25/9).
Dalam APBN 2026, pemerintah berencana berutang lebih besar dari nilai defisit. Hal ini dipicu oleh adanya pengeluaran pembiayaan yang bersifat investasi dan tidak masuk kategori belanja. Rencana berutang tersebut tercermin dari item pembiayaan neto APBN 2026 yang mencapai Rp832,21 triliun.
Yusuf menekankan, pemerintah sebaiknya mengarahkan utang baru untuk proyek yang memberikan imbal hasil ekonomi lebih tinggi. “Ini lebih baik daripada hanya menutup biaya pinjaman atau membiayai belanja konsumtif,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya transparansi dan manajemen risiko nilai tukar, termasuk menjaga rasio utang tetap rendah. “Hal ini sangat menentukan kredibilitas fiskal,” katanya.
Defisit di Era Prabowo Lebih Lebar
Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menilai pelebaran defisit pada 2026 menunjukkan dua tahun pertama kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto ditandai oleh rasio defisit yang lebih lebar dibandingkan era sebelumnya, kecuali saat pandemi Covid-19.
Dia menjelaskan rata-rata rasio defisit pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hanya 1,19%. Pada era pertama Presiden Joko Widodo meningkat menjadi 2,32%.
Saat pandemi melonjak ke 6,14% pada 2020 dan 4,57% pada 2021, lalu turun kembali menjadi 2,35% pada 2022, 1,61% pada 2023, dan naik lagi menjadi 2,30% pada 2024.
Menurutnya, untuk menutup defisit diperlukan penerimaan pembiayaan dengan nilai yang seimbang. Pembiayaan dalam APBN didefinisikan sebagai penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun berikutnya.
“Dengan demikian, pembiayaan dapat bersifat pengeluaran atau pun penerimaan. Item atau nomenklatur dinyatakan dalam nilai bersih atau neto keduanya,” kata Awalil.
Posisi Utang Naik Signifikan
APBN 2026 menetapkan defisit dan pembiayaan anggaran sebesar Rp689,15 triliun. Komposisinya terdiri dari pembiayaan utang Rp832,21 triliun yang bersifat penerimaan, serta pembiayaan non-utang Rp143,06 triliun yang bersifat pengeluaran, seperti pembiayaan investasi dan pemberian pinjaman.
Awalil menjelaskan, pembiayaan utang merupakan tambahan utang neto selama setahun anggaran. “Disebut neto karena memperhitungkan penerimaan dari penarikan utang baru dan pembayaran pokok utang lama,” katanya.
Pembiayaan utang APBN 2026 juga meningkat dibanding usulan dalam RAPBN karena adanya pelebaran defisit. Pemerintah merencanakan penarikan dari Surat Berharga Negara neto sebesar Rp799,53 triliun dan pinjaman Rp32,67 triliun.
Awalil memperkirakan, utang jatuh tempo pada 2026 mencapai Rp800 triliun, sehingga pemerintah perlu menarik utang baru bruto hingga Rp1.600 triliun. Dengan skema tersebut, posisi utang pemerintah diperkirakan naik dari Rp8.813 triliun per akhir 2024 menjadi Rp10.360 triliun pada akhir 2026.
