Menguji Gagasan Prabowo Bayar Utang Whoosh dengan Uang Rampasan Korupsi

Rahayu Subekti
5 November 2025, 17:36
utang kereta cepat whoosh dibayar dari uang sitaan koruptor
ANTARA FOTO/Abdan Syakura/bar
Kereta cepat Whoosh melintas di Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (31/7/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Presiden Prabowo Subianto memastikan negara akan bertanggung jawab terkait penyelesaian utang kereta cepat Whoosh. Pemerintah, menurut dia, mampu membayar kewajiban pembayaran proyek senilai Rp 116 triliun dengan mencicilnya sebesar Rp 1,2 triliun per tahun.

Untuk membayar utang itu pemerintah akan mengambil anggaran dari uang sitaan koruptor. “Jadi nggak usah ribut. Kita mampu dan kita kuat. Duitnya ada. Duit yang tadinya dikorupsi saya hemat, nggak saya kasih kesempatan,” kata Prabowo usai meresmikan bangunan baru Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Selasa (4/11).

Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan belum ada keputusan final terkait skema pembayaran utang Whoosh. Hingga saat ini pemerintah masih dalam proses pembahasan.

“Kami sedang membahas , tentu akan dibicarakan secara teknis antar kementerian dan juga dengan solusi dengan Danantara,” katanya di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (5/11).

Bukan Kebijakan Fiskal yang Realistis

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai ide Prabowo tegas dan simbolik secara politik. Namun, secara ekonomi dan tata kelola fiskal, kebijakan ini tidak tepat karena berisiko menimbulkan distorsi baru serius terhadap fiskal.

“Termasuk, melalui dana hasil rampasan korupsi masuk ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sehingga penggunaannya pun harus melalui mekanisme APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) dan tidak bisa langsung otomatis dialokasikan untuk membayar utang tertentu,” kata Rizal kepada Katadata.co.id.

Artinya, secara hukum keuangan negara, langkah memakai uang rampasan korupsi untuk membayar utang negara sulit dieksekusi tanpa revisi regulasi. Bahkan berpotensi menabrak prinsip akuntabilitas anggaran.

Secara substansi, Rizal menyebut gagasan Prabowo merupakan sinyal moral dan politik untuk menunjukkan komitmen terhadap integritas dan penyelesaian proyek warisan. “Ini bukan kebijakan fiskal yang realistis,” ujar Rizal.

Muncul Preseden Fiskal yang Berisiko

Dampaknya, jika APBN benar-benar digunakan untuk menanggung cicilan utang Whoosh akan muncul preseden fiskal yang berisiko. “Beban utang korporasi badan usaha milik negara, seperti PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC), akan berpindah ke tanggungan negara yang bisa menciptakan risiko fiskal baru dan mengaburkan batas antara risiko bisnis dan risiko publik,” kata Rizal.

Dalam jangka pendek, rencana tersebut dapat menenangkan publik dan kreditur, tapi dalam jangka panjang bisa melemahkan disiplin fiskal dan kredibilitas pengelolaan keuangan negara.

Rizal menyarankan agar pemerintah menempuh jalan yang lebih sehat. “Ini dengan melakukan restrukturisasi utang, memperpanjang tenor, menurunkan bunga, dan mengembangkan pendapatan non-tiket lewat skema pengembangan kawasan berorientasi transit (TOD),” ujar Rizal.

Rencana yang Sulit Dijalankan

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai ide menggunakan uang sitaan korupsi untuk menutup utang Whoosh secara moral merupakan gagasan yang menarik. Namun secara kelembagaan, sulit dijalankan.

“Uang hasil sitaan korupsi masuk sebagai PNBP dan penggunaannya wajib melalui mekanisme APBN,” kata Hidayat.

Belum lagi, Hidayat menyatakan besaran uang sitaan korupsi fluktuatif. Pada 2024, Hidayat mengatakan total setoran Komisi Pemberantasan Korupsi dari uang rampasan hanya sekitar Rp 637 miliar, sedangkan kebutuhan cicilan utang Whoosh mencapai lebih dari Rp 1,2 triliun per tahun.

“Artinya, bahkan seluruh hasil sitaan pun tidak cukup menutup kewajiban tahunan proyek,” ujarnya.

Lebih jauh, penggunaan dana semacam ini tanpa aturan khusus berpotensi menimbulkan persoalan tata kelola dan audit. Hidayat mengatakan, negara diperbolehkan menerapkan kreatif fiskal namun tidak boleh melanggar prinsip keberlanjutan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rahayu Subekti
Editor: Sorta Tobing

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...