BPS Ungkap Angka Pengangguran Turun, Apakah Pasar Tenaga Kerja Sudah Pulih?
Data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2025 mencapai 7,46 juta orang, turun sekitar 4 ribu orang dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Meski menurun, tingkat pengangguran terbuka (TPT) masih tercatat sebesar 4,85%, meningkat dibandingkan Februari 2025 yang mencapai 4,76%.
Pemerintah menilai capaian ini tetap menjadi sinyal positif bagi pemulihan ekonomi pascapandemi di tengah ketidakpastian global. Namun, para ekonom melihat kondisi pasar tenaga kerja masih jauh dari pulih sepenuhnya.
Arus PHK dan Perekrutan Masih Saling Tarik-Menarik
Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai penurunan jumlah pengangguran patut diapresiasi, tetapi belum cukup untuk menandakan perbaikan struktural di pasar kerja.
“Pasar kerja selalu bergerak lewat dua arus, yakni penerimaan (rekrutmen) dan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang saling tarik-menarik. Tantangan pemerintah adalah memastikan arus masuk lebih kencang daripada arus keluar,” ujar Syafruddin kepada Katadata.co.id, Kamis (6/11).
Ia menilai langkah konkret perlu difokuskan pada percepatan penempatan ulang korban PHK. Bantuan tunai sementara dinilai belum cukup menjawab kebutuhan tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan.
Program seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) perlu dioptimalkan tidak hanya untuk memberikan uang kompensasi. Namun juga harus membuka akses terhadap lowongan dan pelatihan singkat yang langsung terhubung dengan kebutuhan industri manufaktur dan jasa modern.
Syafruddin juga mendorong pemerintah memperluas program vokasi cepat berdurasi 8–12 minggu untuk mengisi posisi teknis seperti quality control, operator mesin, teknisi perawatan alat, hingga pemasaran digital.
Selain itu, proyek padat karya di daerah dan pengadaan pemerintah yang memprioritaskan UMKM lokal dinilai bisa mempercepat permintaan tenaga kerja.
“Dengan kombinasi ini, arus masuk pekerjaan bisa mengungguli arus keluar, TPT menurun, partisipasi tenaga kerja pulih, dan kenaikan pendapatan benar-benar terasa di kantong rumah tangga. Pada akhirnya, pasar kerja 2026 akan masuk dengan fondasi yang lebih tangguh,” katanya.
Tekanan Industri Masih Menahan Rekrutmen Baru
Meski angka pengangguran menurun, tekanan di sektor industri belum benar-benar mereda. Syafruddin menyebut banyak pabrik masih menahan ekspansi akibat permintaan global yang fluktuatif, biaya logistik tinggi, dan kurs yang tidak stabil.
“Banyak perusahaan merespons dengan merampingkan kapasitas, memangkas lembur, dan memperlambat perekrutan baru,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi ini membuat PHK tetap terjadi bukan karena ekonomi memburuk, melainkan karena arus perekrutan belum cukup kuat menandingi arus keluarnya tenaga kerja.
Pekerjaan Ada, Tapi Tak Sepenuhnya Layak
Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menyoroti sisi lain pasar tenaga kerja, yakni meningkatnya fenomena underemployment atau pekerja setengah menganggur.
“Masalah pasar kerja kini bukan sekadar punya kerja atau tidak, tapi apakah pekerjaan itu layak dan mencukupi,” tulis laporan LPEM FEB UI.
Data BPS menunjukkan kelompok usia muda menjadi yang paling rentan. Tingkat underemployment mencapai 16,53% untuk usia 15–19 tahun, dan 13,58% untuk usia 20–24 tahun.
Banyak dari mereka bekerja paruh waktu dengan upah rendah, atau terpaksa masuk sektor informal karena sulitnya menemukan pekerjaan penuh waktu. Fenomena ini meningkat di era gig economy, ketika pekerjaan digital tampak fleksibel padahal banyak dijalani karena terpaksa.
Dia menilai pekerjaan di platform daring memang terlihat modern, tetapi banyak yang hidup dari penghasilan tidak stabil tanpa perlindungan kerja.
"Underemployment di Indonesia lebih mencerminkan keterpaksaan ekonomi daripada kebebasan kerja,” tulis laporan tersebut.
