Kilas Balik Redenominasi Rupiah: Dipersiapkan Sejak Era SBY, Kenapa Tertunda?
Rencana redenominasi rupiah kembali mencuat. Redenominasi merupakan penyederhanaan jumlah digit pada pecahan (denominasi) rupiah tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut.
Kini, di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, rencana ini kembali bergulir setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kemenkeu 2025–2029.
Dalam beleid tersebut, Purbaya berencana mengusulkan empat Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2025–2029. Salah satunya adalah RUU tentang Perubahan Harga Rupiah atau redenominasi, yang akan menyederhanakan nilai mata uang, misalnya dari Rp1.000 menjadi Rp1.
PMK yang ditandatangani Purbaya pada 10 Oktober dan diundangkan pada 3 November 2025 itu memuat empat urgensi pembentukan RUU Redenominasi. Pertama, efisiensi perekonomian dapat dicapai melalui peningkatan daya saing nasional.
Kedua, menjaga kesinambungan perkembangan perekonomian nasional. Ketiga, menjaga kestabilan nilai rupiah sebagai wujud terpeliharanya daya beli masyarakat. Keempat, meningkatkan kredibilitas rupiah.
Disiapkan Sejak Lama
Pemerintah sebenarnya telah lama menyiapkan kebijakan redenominasi rupiah ini. Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga pernah memasukkan wacana tersebut dalam Prolegnas 2020–2024.
Kebijakan itu diawali dengan penerbitan PMK Nomor 77 Tahun 2020, yang ditandatangani Sri Mulyani pada 29 Juni dan diundangkan sehari kemudian. Dalam beleid tersebut dijelaskan bahwa redenominasi dapat menciptakan efisiensi ekonomi.
“Berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang atau jasa karena sederhana jumlah digit,” tertulis dalam aturan itu.
Sebelum Sri Mulyani, Agus DW Martowardojo saat menjabat Menteri Keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga pernah mengusulkan redenominasi dalam Prolegnas 2013.
Seiring waktu, Bank Indonesia (BI) juga telah melakukan berbagai persiapan. Gubernur BI Perry Warjiyo pada Juni 2023 mengatakan bahwa desain dan tahapan teknis redenominasi sudah siap.
“Masalah desain dan tahapan-tahapannya, itu sudah kami siapkan dari dulu secara operasional dan bagaimana tahapan-tahapannya,” ujar Perry.
Belajar dari Sejarah
Redenominasi sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia. Kebijakan serupa pernah diterapkan pada akhir kepemimpinan Presiden Sukarno tahun 1965.
Dalam buku The History of Bank Indonesia: Monetary 1959–1966, tercatat bahwa bank sentral pernah mencetak uang Rp1 yang nilainya setara dengan Rp1.000 tahun sebelumnya.
Namun, kebijakan kala itu dikaitkan dengan sanering, yaitu pemotongan nilai uang akibat beban pembiayaan proyek pembangunan yang tinggi dan inflasi yang melonjak.
Berbeda dengan kebijakan yang disiapkan pemerintah saat ini, redenominasi rupiah yang tengah dirancang tidak akan mengurangi nilai mata uang, melainkan hanya menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah.
Bergantung pada Kondisi Ekonomi
Pemerintah dan BI menegaskan bahwa pelaksanaan redenominasi akan sangat bergantung pada kondisi ekonomi nasional.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo pada 2013 menilai bahwa redenominasi baru bisa dilakukan saat ekonomi stabil.
“Salah satu kunci redenominasi agar berhasil adalah ekonominya harus stabil dan kuat,” ujarnya di Jakarta, 22 Maret 2013.
Kala itu, Agus menilai perekonomian Indonesia masih rentan terhadap dampak krisis finansial di Amerika Serikat dan Eropa, serta terbebani oleh subsidi energi yang tinggi.
Pada 2017, Sri Mulyani juga menegaskan pentingnya stabilitas ekonomi sebelum menerapkan redenominasi.
“Kalau policy kami tetap konsisten, kondisi ekonominya tetap terjaga, pasti akan bisa menuju ke hal yang positif,” katanya usai rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Jakarta, 18 Juli 2017.
Kini, di era pemerintahan Prabowo Subianto, Bank Indonesia kembali menegaskan bahwa implementasi kebijakan ini tidak akan tergesa-gesa.
“Pelaksanaannya akan memperhatikan stabilitas politik, ekonomi, sosial, serta kesiapan teknis, termasuk aspek hukum, logistik, dan teknologi informasi,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Denny Nugroho, Senin (10/11).
Denny menambahkan, selama proses pembahasan dan persiapan berlangsung, BI akan tetap fokus menjaga stabilitas nilai rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
