Belajar dari Brasil hingga Zimbabwe: Menakar Risiko Redenominasi Era Prabowo
Rencana redenominasi rupiah kembali muncul pada era Presiden Prabowo Subianto. Redenominasi merupakan penyederhanaan jumlah digit pada pecahan (denominasi) rupiah tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut.
Program itu kembali bergulir setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kemenkeu 2025–2029.
Namun di balik kesederhanaan mengganti angka nol dalam pecahan rupiah ini, ada sejumlah risiko yang dapat mengguncang stabilitas ekonomi jika tidak dikelola dengan cermat. Sebab, ada sejumlah negara yang gagal menerapkan redenominasi. Berikut daftarnya:
1. Zimbabwe
Negara ini mengalami jatuhnya nilai mata uang. Dikutip dari laman OCBC, hal ini terjadi karena Zimbabwe gagal menerapkan upaya redenominasi usai banyaknya peredaran uang yang memicu hiperinflasi.
Pada saat pemerintahan Presiden Robert Mugabe, ada kebijakan untuk mencetak uang tanpa henti demi membiayai pemerintahannya. Saat terlalu banyak uang yang beredar di pasar, kondisi ini membuat harga barang menjadi tinggi.
Sebagai upaya penyelesaian masalah hiperinflasi, Zimbabwe melakukan tiga kali redenominasi, yakni pada 2006, 2008, dan 2009. Ketiganya gagal karena kondisi ekonominya yang tidak stabil.
2. Brasil
Negara ini melakukan redenominasi sebanyak enam kali untuk mengatasi masalah pencatatan statistik dan sistem pembayaran.
Brasil juga melakukan redenominasi untuk memulihkan kredibilitas mata uangnya. Namun, hal ini gagal karena mata uangnya baru, yaitu Cruzado, terus melemah terhadap dolar AS. Belum lagi hantaman inflasi yang mendera negara ini.
3. Argentina
Argentina juga sempat melakukan upaya redenominasi namun gagal menjalankannya pada 1970-an. Dalam jurnal Paradigma Islam di Bidang Keuangan, Ekonomi, dan Pembangunan EkonomiKA 2015 tertulis, negara ini melakukan redenominasi karena bermasalah dengan tingginya inflasi. Bahkan terjadi hiperinflasi di atas 50% per bulan.
Singkatnya, redenominasi Argentina gagal dilakukan karena kondisi ekonomi yang tidak kunjung stabil. Saat krisis terjadi pada 2001, inflasi kembali meningkat dan membuat mata uang peso jatuh.
4. Korea Utara
Negara ini melakukan redenominasi pada 30 November 2009. Uang kertas baru dicetak setelah adanya redenominasi 100 won menjadi 1 won namun hal ini gagal dieksekusi.
Kegagalan ini disebabkan ketidaksiapan Korea Utara menyediakan stok mata uang baru. Sebab lainnya, redenominasi dilakukan di tengah krisis ekonomi.
5. Ghana
Ghana juga menjadi salah satu yang gagal melaksanakan redenominasi pda 2007. Ghana mengonversi 10.000 Cedi menjadi 1 Cedi untuk mempermudah transaksi keuangan.
Efek positifnya hanya bertahan sebentar setelah inflasi kembali naik. Dalam buletin yang dipaparkan lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios), inflasi di Ghana naik hingga 5%.
Belajar Redenominasi dari Negara Lain
Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengungkapkan banyak negara tersandung redenominasi karena menganggap pemangkasan nol sebagai operasi teknis. Padahal transisinya memicu redenomination shocks yang mengacaukan perilaku harga dan ekspektasi publik.
“Ketika komunikasi kebijakan lemah, konsumen merasa harga lebih murah lalu belanja melonjak, pedagang membulatkan harga ke atas, dan inflasi merayap,” kata Syafruddin kepada Katadata.co.id, Selasa (11/11).
Dari sisi fiskal dan moneter, disiplin yang longgar membuat pasar membaca redenominasi sebagai sinyal rapuhnya fondasi ekonomi. Dengan begitu, risikonya meningkat dan membuat nilai tukar tertekan, simpanan berpindah ke valuta asing, dan biaya pembiayaan negara naik.
Beban teknis juga besar seperti pencetakan uang, perubahan sistem perbankan, revisi kontrak, dan dual pricing yang memperpanjang masa ketidakpastian.
“Ketika otoritas gagal mengunci ekspektasi inflasi, gagal menegakkan aturan anti pembulatan harga, dan gagal menyiapkan infrastruktur pembayaran, redenominasi berubah menjadi sumber gangguan yang merusak kredibilitas kebijakan,” ujar Syafruddin.
RI Perlu Menakar Risiko Redenominasi
Syafruddin mengatakan dengan adanya kegagalan di sejumlah negara dalam melaksanakan redenominasi maka Indonesia perlu menakar risiko dengan jernih. Hal ini karena redenomination shocks dan redenomination risk dapat menambah ketidakpastian di saat prioritas nasional justru mempercepat produktivitas, menaikkan daya saing, dan mengejar pertumbuhan 8%.
“Inflasi berada dalam koridor, tetapi literasi keuangan, kesiapan UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), dan keseragaman sistem pencatatan belum merata,” kata Syafruddin.
Kondisi ini rentan memicu kekacauan harga. Begitu juga dalam kesalahan pembukuan, dan sengketa kontrak saat dual pricing berjalan.
Tidak Perlu Tergesa-gesa Lakukan Redenominasi
Global Market Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto mengatakan Indonesia tidak perlu tergesa-gesa dalam menerapkan redenominasi. Sebab saat ini setiap transaksi sudah bisa terakomodir dan transaksi digital.
“Kalau dipaksakan untuk diterapkan setahun atau dua tahun, kalau belum siap ini repot,” kata Myrdal.
RI perlu kesiapan dari berbagai pihak seperti perbankan dan juga kesiapan informasi teknologi. Jika penerapan tidak berjalan secara mulus, berpotensi memunculkan lonjakan inflasi.
“Ternyata banyak juga negara-negara yang menerapkan redenominasi ini tidak smooth. Penerapan redominasinya tidak cukup sekali, jadi ada penyesuaian,” ujar Myrdal.
