Ekonom Ungkap Biang Kerok Kelas Menengah Tergerus, Soroti Polarisasi Ekonomi

Mela Syaharani
13 November 2025, 16:30
kelas menengah
Katadata/Fauza Syahputra
Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede menyampaikan paparan pada acara Katadata Policy Dialogue, Ekonomi Tumbuh 5,04%: Bagaimana Prospek 2026? di Jakarta, Kamis (13/11/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menilai ada tanda-tanda penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia. Menurutnya, fenomena ini terlihat dari meningkatnya polarisasi ekonomi, di mana kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi masih mampu menjaga pola konsumsi meskipun kondisi ekonomi tidak stabil.

“Di kelas menengah atas masih tetap solid, spending untuk sektor transportasi, komunikasi, restoran, dan hotel masih baik,” ujar Josua dalam acara Katadata Policy Dialogue: Ekonomi Tumbuh 5,04%, Bagaimana Prospek 2026, Kamis (13/11).

Josua menjelaskan, pada 2019 jumlah penduduk kelas menengah tercatat sekitar 57 juta orang, namun kini berkurang menjadi 47 juta orang. Kondisi ini menjadi sinyal bahwa jumlah penduduk rentan di Indonesia semakin banyak.

Penurunan kelas menengah juga tercermin dari kinerja sektor otomotif. Josua menyebut, penjualan mobil penumpang roda empat tahun ini mengalami penurunan.

Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, penjualan mobil baru periode Januari–Oktober 2025 hanya mencapai 635.844 unit, turun 10,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebanyak 711.064 unit.

“Yang paling besar (penurunannya) adalah mobil jenis LCGC yang merupakan segmen pasar kelas menengah,” ujarnya.

Penjualan Mobil Listrik Naik

Sebaliknya, penjualan mobil listrik (EV) yang umumnya digunakan masyarakat berpenghasilan tinggi justru meningkat. Kondisi serupa juga terlihat di sektor manufaktur padat karya yang mulai melemah akibat tekanan eksternal, terutama dari kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) yang diberlakukan di masa pemerintahan Presiden Donald Trump.

“Sebagian besar industri manufaktur kita terekspos pasar ekspor AS. Jadi kita tidak bisa pungkiri bahwa tarif resiprokal sebesar 19% telah berdampak negatif terhadap kinerja beberapa sektor industri,” katanya.

Meski demikian, Josua mengapresiasi langkah pemerintah yang mulai merespons kondisi ini melalui peluncuran paket kebijakan 8+4+5. Ia menilai kebijakan tersebut penting untuk menjaga daya beli dan memperkuat posisi kelas menengah yang menjadi motor utama pertumbuhan konsumsi nasional.

“Jelas terlihat bahwa masyarakat berpenghasilan menengah saat ini menjadi kelompok yang paling terdampak. Jika dilihat dari sisi pendapatan riil, kenaikannya cenderung terbatas, bahkan kemungkinan justru menurun,” ujar Josua.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Mela Syaharani

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...