Mengurai Penyebab Kredit Perbankan Melambat pada 2025, Hanya Tumbuh Single Digit

Rahayu Subekti
23 Desember 2025, 15:07
Petugas menghitung uang rupiah di Kantor Cabang BNI Pasar Baru, Jakarta, Senin (27/10/2025).
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nym.
Petugas menghitung uang rupiah di Kantor Cabang BNI Pasar Baru, Jakarta, Senin (27/10/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Bank Indonesia (BI) mengungkapkan peran kredit perbankan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi perlu terus ditingkatkan. Sebab, pertumbuhan kredit melambat hanya single digit per November 2025.

Pada September 2025, kredit perbankan tumbuh 7,70% secara tahunan (yoy). Namun angka ini melambat pada Oktober 2025 menjadi 7,36% yoy.

Lalu pada November 2025, BI mencatat kredit perbankan pada November 2025 tumbuh 7,74% yoy. Meski meningkat, Gubernur BI Perry Warjiyo menilai pertumbuhan kredit perbankan ini belum kuat.

“Permintaan kredit terindikasi belum kuat dipengaruhi oleh perilaku wait and see dari pelaku usaha, optimalisasi pembiayaan internal oleh korporasi, serta penurunan suku bunga kredit yang masih lambat,” kata Perry dalam RDG Bulanan BI Desember 2025, Rabu (17/12).

Di sisi lain, BI juga menyoroti lambatnya penurunan suku bunga kredit perbankan. Perry memandang efektivitas transmisi pelonggaran kebijakan moneter terhadap penurunan suku bunga perbankan perlu terus didorong. 

Ia menilai, pelonggaran kebijakan moneter yang telah ditempuh Bank Indonesia dan penempatan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) pemerintah di perbankan perlu diikuti dengan penurunan suku bunga perbankan lebih cepat. Padahal, sepanjang 2025 BI sudah memangkas suku bunga acuannya hingga 125 basis poin (bps).

Namun transmisi penurunan BI-Rate ini baru terasa signifikan kepada suku bunga dana. Suku bunga deposito satu bulan turun sebesar 67 bps dari 4,81% pada awal 2025 menjadi 4,14% pada November 2025.

Namun, penurunan suku bunga kredit perbankan cenderung lebih lambat. “Ini perlu terus didorong karena kredit suku bunga kredit perbankan baru turun sebesar 24 bps dari 9,20% pada awal 2025 menjadi sebesar 8,96% pada November 2025,” ujar Perry.

Pelaku Usaha Menahan Diri dan Konsumsi Masyarakat

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai salah satu alasan yang menyebabkan penyaluran kredit belum sepenuhnya meningkat adalah karena permintaan dan kondisi perekonomian domestik. Kedua kondisi ini belum sepenuhnya terbaca secara jelas oleh pelaku usaha.

“Hal ini membuat pelaku usaha masih menahan diri untuk menambah kapasitas produksi maupun melakukan ekspansi,” kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Selasa (23/12).

Yusuf menjelaskan, kondisi tersebut juga berkaitan dengan belum pulihnya konsumsi masyarakat secara menyeluruh. Hal ini tercermin dari berbagai indikator utama, termasuk ekspektasi dan tingkat keyakinan ekonomi kelompok berpendapatan menengah ke bawah.

Indikasi konsumsi yang belum sepenuhnya membaik juga terlihat dari PMI manufaktur yang sempat berada di fase kontraksi. PMI manufaktur melemah dan berada di bawah level 50 yang merupakan zona kontraksi dan terjadi pada pertengahan 2025.

“Ini menunjukkan bahwa permintaan masyarakat masih lemah,” ujar Yusuf.

Situasi ini membuat pelaku usaha belum memiliki keyakinan yang cukup untuk meningkatkan kapasitas produksi atau memperluas usaha. Hal ini pada akhirnya tercermin pada masih tertahannya permintaan kredit.

Pengaruh Kebijakan Trump

Yusuf mengungkapkan sikap wait and see dari pelaku usaha tersebut juga tidak terlepas dari faktor global terutama pengaruh kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Saat ini, Amerika Serikat masih melakukan proses negosiasi dengan Indonesia.

“Ini tentu akan memengaruhi arah hubungan perdagangan kedua negara ke depan,” kata Yusuf.

Meski hasil negosiasi tersebut diharapkan menguntungkan kedua belah pihak. Yusuf mengatakan terdapat juga skenario yang berpotensi menekan kinerja ekspor Indonesia ke Amerika Serikat.

“Dalam konteks ini, tekanan dapat dirasakan oleh sejumlah industri strategis, termasuk industri alas kaki dan tekstil,” ujar Yusuf.

Apabila kondisi tersebut terjadi, Yusuf menilai permintaan kredit, khususnya dari sektor industri manufaktur berpotensi tetap tertahan. Yusuf menekankan, hal ini menjadi salah satu alasan utama dibalik sikap wait and see yang saat ini masih diambil oleh pelaku usaha maupun industri.

Intermediasi Belum Sesuai Harapan

Di sisi lain, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan pertumbuhan kredit perbankan yang masih 7,74% yoy menunjukkan intermediasi belum sekuat yang diharapkan. Hal ini meski ketahanan perbankan dinilai kuat dan kemampuan bayar korporasi diperkirakan tetap terjaga.

“Penyebabnya bukan satu faktor, melainkan kombinasi permintaan yang masih tertahan dan penyaluran yang belum sepenuhnya mengalir,” kata Josua.

Dari sisi permintaan, BI mencatat kredit yang sudah disetujui tetapi belum dicairkan meningkat. BI mencatat fasilitas pinjaman yang belum dicairkan atau undisbursed loan pada November 2025 masih besar yaitu mencapai Rp 2.509,4 triliun atau 23,18% dari plafon kredit yang tersedia. 

Selain itu, Josua mengatakan permintaan pembiayaan rumah tangga juga masih tertahan. “Ini konsisten dengan gambaran daya beli yang belum pulih merata,” ujar Josua.

Dorongan Special Rate

Dari sisi penawaran dan harga, Josua mengungkapkan ada persaingan dana deposan besar untuk mendorong suku bunga simpanan special rate tetap tinggi. Hal ini membuat penurunan biaya dana bank menjadi terbatas dan suku bunga kredit menjadi sulit turun.

“Ketika suku bunga kredit tidak turun cukup cepat, rangsangan bagi dunia usaha untuk menambah pinjaman melemah,” ujar Josua.

Bahkan, BI juga menilai penurunan suku bunga acuan terhadap suku bunga kredit masih terbatas. Josua menilai hal ini perlu penguatan insentif agar penurunan suku bunga kredit lebih terasa dan akhirnya mendorong permintaan pembiayaan.

“Karena itu, dorongan kredit tidak cukup hanya dari sisi likuiditas. BI juga menekankan perlunya langkah bersama, termasuk meredakan praktik suku bunga simpanan dengan special rate, memperkuat optimisme prospek ekonomi, serta mempercepat belanja pemerintah untuk mendorong konsumsi dan investasi sektor riil,” kata Josua.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rahayu Subekti

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...