Meredam Lonjakan Inflasi Global

Masyita Crystallin
Oleh Masyita Crystallin
14 Mei 2022, 06:00
Masyita Crystallin
Katadata | Joshua Siringo-ringo

Awal dekade 2020-an diwarnai dengan gejolak perekonomian global yang seakan tidak memberi ruang bagi para pelaku ekonomi untuk bernapas. Setelah kontraksi perekonomian global yang disebabkan pandemi COVID-19, terbitlah fenomena inflasi yang dapat mempengaruhi pemulihan ekonomi dunia.

Menurut VoxEU Centre for Economic Policy Research (CEPR), tingkat inflasi global sepanjang 2021 hingga triwulan I 2022 meningkat menjadi lebih dari 6%, tertinggi sejak Krisis Keuangan Global 2008.

Kenaikan inflasi global ini sudah melebihi target inflasi banyak bank sentral negara maju maupun berkembang. Inflasi IHK (Indeks Harga Konsumen) tahunan pada April 2022 di Amerika Serikat dan Belanda masing-masing telah mencapai 8,3% dan 9,6%. Sementara itu, inflasi IHK di Inggris (Maret 2022) mencapai 7%, tertinggi sejak periode akhir 1970 hingga awal 1990-an.

Beberapa negara berkembang pun tidak luput dari fenomena ini. Misalnya, Meksiko dan India yang inflasi IHK tahunannya masing-masing mencapai 7,7% dan 7,8% pada April 2022. Bahkan inflasi IHK tahunan Turki dan Sri Lanka masing-masing telah mencapai 69,9% dan 29,8% pada periode yang sama.

International Monetary Fund (IMF) bahkan memperkirakan inflasi pada 2022 di negara maju akan mencapai 5,7% dan di negara berkembang sebesar 8,7%, masing-masing 1,8% dan 2,8% lebih tinggi dari proyeksi WEO pada Januari 2022.

Fenomena peningkatan inflasi terjadi pula di Indonesia, meski masih dalam tingkat terkendali dibandingkan banyak negara lain. Pada April 2022, inflasi mencapai 3,47%, tertinggi sejak Agustus 2019. Namun, perekonomian Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan solid dengan tumbuh 5,01% yoy pada triwulan I 2022 yang didukung oleh pertumbuhan konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya (Q1-2022: 4,34%; Q4-2021: 3,55%). Selain itu, Outlook Indonesia dari lembaga pemeringkat S&P pun mengalami perbaikan menjadi “Stabil” dari sebelumnya dinyatakan “Negatif”.

Kembali ke inflasi global, tingginya inflasi disebabkan multifaktor, seperti gangguan rantai pasok sektor manufaktur secara konstan, melonjaknya harga komoditas pangan dan energi di tengah meningkatnya permintaan seiring peningkatan mobilitas penduduk, serta perang Rusia-Ukraina.

Kebijakan kontrasiklus, baik moneter maupun fiskal, yang digelontorkan secara maksimal untuk menyelamatkan perekonomian di masa pandemi ini berdampak pula pada inflasi. The Federal Reserve San Fransisco menulis bahwa besarnya stimulus fiskal Amerika Serikat dalam menghadapi pandemi menjadi faktor pendorong inflasi.

Para ekonom dan pengambil kebijakan masih memperdebatkan apakah inflasi global ini bersifat sementara atau jangka panjang. CEPR berpendapat bahwa dalam jangka menengah, jika gejolak perekonomian global mereda, inflasi diperkirakan akan kembali ke target yang diharapkan oleh otoritas-otoritas moneter di seluruh dunia. Sementara itu, IMF menyebutkan terdapat peningkatan risiko atas tidak menurunnya ekspektasi inflasi.

Bagaimana menurunkan inflasi? Dalam teori ekonomi standar tentu ini menjadi ranah otoritas moneter, terutama banyak otoritas moneter menganut rezim inflation targeting. Menurunkan inflasi dengan pengetatan tentu bukan tanpa biaya.

Seberapa besar resesi atau perlambatan yang harus dialami untuk menurunkan inflasi, tentu berbeda untuk tiap perekonomian bergantung pada elastisitas Phillips Curve masing-masing negara. Kurva Phillip menjelaskan hubungan ekonomi riil yang digambarkan dengan tingkat pengangguran dan inflasi.

Perlambatan ekonomi di saat harga-harga masih meningkat, atau disebut dengan stagflasi, perlu dihindari oleh seluruh negara secara bersama-sama. Pengetatan kebijakan moneter bukan satu-satunya instrumen untuk menahan inflasi, meskipun perannya termasuk utama.

Halaman:
Masyita Crystallin
Masyita Crystallin
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi; Sherpa Koalisi Menteri Keuangan untuk Aksi Iklim

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...