Untung-Buntung Investasi Telkomsel di GoTo

Metta Dharmasaputra
14 Juni 2022, 12:37
Metta Dharmasaputra
Ilustrator: Betaria Sarulina

Riuh “kerugian” investasi Telkomsel di GoTo belum juga surut. Dari jagad medsos, kini bahkan mengalir ke gedung parlemen. Agar tak makin kusut, kita perlu membahasnya dengan tenang dan jernih.

Saya tuliskan kerugian dalam tanda petik, karena yang sejak awal diributkan adalah unrealized loss. Artinya, kerugian yang belum terealisasi. Besarnya mencapai Rp 881 miliar. Potensi rugi ini dicatatkan dalam laporan keuangan kuartal I 2022 PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk., induk perusahaan PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel).

Angka kerugian muncul karena harga saham PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. yang dicatatkan di laporan keuangan Telkom per 31 Maret 2022 hanya sebesar Rp 338 per saham. Padahal, di laporan akhir tahun per 31 Desember 2021, nilainya mencapai Rp 375.

Jika melihatnya hanya sepotong di periode ini, potensi rugi itu memang ada. Tapi, jangan terburu-buru mengambil kesimpulan. Mari kita urai investasi Telkomsel di GoTo ini secara historikal.

Fluktuasi Harga Saham

Investasi Telkomsel berawal pada sekitar November 2020 lewat pembelian obligasi konversi (convertible bond) Gojek senilai US$ 150 juta. Aksi korporasi ini berlanjut dengan investasi US$ 300 juta pascamerger Gojek-Tokopedia pada 17 Mei 2021, yang akan disusul dengan pencatatan saham GoTo di bursa (IPO).

Investasi tahap dua ini dilakukan Telkomsel melalui pembelian langsung saham Gojek. Bersamaan dengan itu, seluruh obligasi dikonversi menjadi kepemilikan saham. Jika ditotal, maka investasi Telkomsel di Gojek mencapai US$ 450 juta (sekitar Rp 6,4 triliun). Atas bantuan penasihat investasi BNP Paribas, kedua transaksi ini dilakukan di harga Rp 270 per saham.

Dalam perkembangannya, valuasi Gojek pascamerger dengan Tokopedia, melejit. Dari semula di kisaran US$ 10 miliar, menjadi US$ 18 miliar, lalu menggembung menjadi US$ 30-40 miliar (sekitar Rp 570 triliun).

Hal ini dipicu oleh kabar sukses GoTo meraup dana pra-IPO pada November 2021 senilai total US$ 1,4 miliar. Salah satunya dari lembaga investasi Abu Dhabi (ADIA), Uni Emirat Arab, senilai US$ 400 juta.

Telkomsel sebagai salah satu investor GoTo tentu turut menikmati lonjakan valuasi ini. Harga GoTo dikalkulasi meningkat menjadi Rp 375 per saham. Dengan kenaikan ini, maka ada unrealized gain Rp 2,4 triliun yang dinikmati Telkomsel. Metodologi perhitungan valuasi ini pun sudah divalidasi oleh Ernst & Young selaku auditor eksternal Telkomsel.

Potensi untung inilah yang juga dicatatkan di laporan akhir tahun Telkom 2021. Masalahnya kemudian, harga saham dan valuasi perusahaan-perusahaan startup teknologi di dunia tertekan hebat. Termasuk penurunan drastis saham Bukalapak, yang juga salah satu unicorn Indonesia.

Ini membuat harga saham perdana GoTo pun hanya bisa dibanderol Rp 338 saat go public pada 11 April 2022. Angka ini juga yang menjadi benchmark pencatatan di laporan keuangan Telkom kuartal I 2022.

Penurunan harga saham itulah yang kini diributkan sebagai kerugian investasi Telkomsel di GoTo. Padahal, membuat judgement untung-rugi investasi berdasarkan harga saham di pasar yang fluktuatif, rasanya terlalu terburu-buru.

Terbukti, saham GoTo kini kembali mengalami kenaikan. Berdasarkan data perdagangan pada Rabu, 8 Juni lalu, harga saham GoTo kembali ke level Rp 375 (setara dengan harga per 31 Desember 2021). Bahkan sempat menyentuh harga tertinggi Rp 400 keesokan harinya. Ini berarti, unrealized loss yang diributkan sudah lenyap.

Lagi pula, harga saham IPO GoTo Rp 338 yang dijadikan dasar perhitungan unrealized loss itu, masih lebih tinggi dibanding harga pembelian saham GoTo oleh Telkomsel senilai Rp 270. Dengan kata lain, jika perbandingannya dilakukan terhadap harga saham GoTo saat dibeli, maka pada kuartal I lalu pun, Telkomsel sesungguhnya masih meraup unrealized gain.

Apalagi jika kalkulasi dilakukan antara harga pembelian dan harga saham GoTo terakhir per 13 Juni lalu sebesar Rp 388 per saham. Dengan kepemilikan 23,7 miliar saham, maka Telkomsel kini mengantongi keuntungan di atas kertas sekitar Rp 2,8 triliun dari investasi di GoTo. Jadi, untung atau buntung?

Selain itu, seperti sudah banyak diulas, munculnya angka unrealized loss lebih dikarenakan penerapan aturan pencatatan akuntansi keuangan berbasis pasar (mark to market). Belum ada kerugian riil yang benar-benar terjadi. Berhubung sampai sekarang belum ada saham GoTo yang dijual oleh Telkomsel.

Risiko Investasi

Dari sisi risiko, boleh dibilang sesungguhnya investasi Telkomsel di GoTo cukup terukur. Meski mayoritas saham Telkomsel dimiliki oleh BUMN Telkom, sekitar 35 persen sahamnya dikuasai oleh Singapore Telecommunication Ltd. (Singtel). Dana investasi pun sepenuhnya dari internal Telkomsel. Telkom sebagai pemegang saham, hanya dimintai persetujuan.

Raksasa telekomunikasi asal Singapura itu pastinya juga tak akan serta-merta memberi lampu hijau jika investasi di GoTo dinilai gegabah. Mereka bahkan bisa mengganjalnya dengan hak veto yang dimilikinya. Apalagi di jajaran komisaris Telkomsel, terdapat Group CEO of Singtel, Yuen Kuan Moon.

Perlu juga dicatat, sejumlah raksasa perusahaan investasi dan digital dunia sudah lebih dulu masuk ke Gojek. Google, Facebook, PayPal, Tencent, dan Temasek beberapa di antaranya. Di dalam negeri, perusahaan papan atas seperti Astra, Mandiri, Djarum, dan Sinar Mas tak ketinggalan. Mereka pun tentunya tak kebal dari potensi rugi akibat fluktuasi harga saham GoTo.

Masuknya BUMN ke ranah investasi start-up digital sebetulnya agak terlambat. Ini karena adanya kekhawatiran bahwa model bisnis perusahaan rintisan yang mengejar valuasi dengan membakar uang terlalu berisiko. Dana investasi yang harus digelontorkan pun super besar.

Tak mengherankan, semula perusahaan swasta nasional dan BUMN enggan masuk ke perusahaan rintisan teknologi. Akibatnya, startup besar Indonesia sepenuhnya bergantung pada dana asing.

Jangan lupa, kritik keras pernah terlontar dalam debat Calon Presiden 2019, juga dari Chairul Tanjung. Pemilik Transcorp ini mempertanyakan dominasi kepemilikan asing atas perusahaan-perusahaan startup nasional. Indonesia dinilainya hanya menjadi pasar.

Masuknya dana investasi asing ke startup, bagaimanapun amat menguntungkan Indonesia. Bayangkan, ketika penanaman modal langsung (foreign direct investment) di sektor bisnis konvensional jeblok dan nilai tukar rupiah merosot hingga Rp 15 ribu per dolar AS pada 2018, aliran dana asing ke sejumlah startup unicorn saat itu sedikitnya mencapai US$ 6 miliar.

Halaman:
Metta Dharmasaputra
Metta Dharmasaputra
Co-founder, CEO Katadata

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...