Startup: Bisnis Sebatas Selebritas?

Ade Febransyah
Oleh Ade Febransyah
27 Juni 2022, 06:30
Ade Febransyah
Ilustrator: Betaria Sarulina

 

From hero to zero. Inilah yang sepertinya terjadi di sebagian startup belakangan ini. Beberapa startup di dalam dan luar negeri diberitakan melakukan pemutusan hubungan kerja, berhenti beroperasi, dan mengalami kebangkrutan. Berbeda dengan perusahaan rintisan lainnya, kehadiran startup begitu menyita perhatian. Penuh gegap gempita.

Dengan solusi berbasis teknologi digital, startup dilihat sebagai pendisrupsi para pemain lama. Gelontoran dana besar dari pendana ventura ternama mengukuhkan jati diri startup sebagai perusahaan masa depan bervaluasi tinggi. Tapi dalam perjalanannya, sebagian berhasil, sebagian besar berhenti di tengah jalan.

Sebetulnya, kenyataan ini bukan sesuatu yang mengagetkan. Di bisnis apa saja, yang bukan digital sekalipun, secara empiris lebih banyak gagalnya ketimbang berhasil. Kegagalan startup menyita perhatian mungkin karena ekspektasi yang begitu besar pada mereka. Investor besar begitu percaya pada mereka. Bagi mereka, digital adalah masa depan dan startup identik dengan bisnis serba digital. Tapi sungguhkah demikian?

Problem-solution fit

Meyakini digital adalah masa depan, pelaku startup sepertinya terobsesi dengan bisnis serba digital. Apa pun layanannya, harus serba memakai platform dan aplikasi. Padahal tidak semua kebutuhan dan problem di masyarakat butuh solusi digital. Di sinilah ketiadaaan problem-solution fit bisa terjadi sejak awal ketika bisnis masih direncanakan.

Ketiadaan problem-solution fit juga bisa terjadi karena pendekatan “solution first” yang digunakan para pendiri startup. Mereka memiliki solusi berbasis teknologi digital yang diyakini dapat mengatasi problem, memenuhi kebutuhan atau menyelesaikan pekerjaan yang ada di masyarakat. Mereka begitu “falling in love” dengan produk atau layanan berbasis teknologi.

Ternyata masyarakat tidak terlalu membutuhkan solusi mereka. Adanya problem-solution fit adalah milestone kritis yang harus dilewati oleh startup maupun perusahaan pada umumnya. Problem-solution fit ini mensyaratkan pelaku bisnis untuk menawarkan solusi yang tepat atas problem yang juga tepat di masyarakat. 

Sebaik-baiknya problem di masyarakat adalah ketika mereka memiliki pekerjaan penting yang ingin diselesaikan atau jobs to be done (Christensen, 2016) dan pekerjaan tersebut belum terselesaikan dengan baik. Inilah yang disebut underserved job. Menemukannya di masyarakat merupakan modal awal berharga bagi startup.

Underserved job berupa “memproteksi diri dan keluarga dari ancaman virus Covid 19” adalah oportunitas besar dari masyarakat yang dijawab oleh perusahaan farmasi pembuat vaksin. Moderna, perusahaan yang didirikan pada 2010, termasuk perusahaan rintisan yang menikmati kesuksesan dari vaksin yang dihasilkan untuk menyelesaikan pekerjaan penting tersebut di masyarakat.

Para pembuat vaksin Covid-19 mampu menciptakan “tsunami effect” di masyarakat, dalam artian positif. Ketika berbagai vaksin Covid-19 diperkenalkan, masyarakat hampir tidak mampu untuk menolaknya; bahkan menyambutnya dengan suka cita. Inilah sebaik-baiknya pencapaian dalam berinovasi.

Kenyataannya, efek tsunami dalam berinovasi jarang terjadi. Kebanyakan startup, baik digital maupun nondigital, justru berkerumun menawarkan pekerjaan di masyarakat yang sudah “served right” (pekerjaan yang penting bagi masyarakat dan sudah terselesaikan dengan baik) maupun “overserved” (pekerjaan yang tidak terlalu penting dan sudah terselesaikan dengan baik).

Silakan lihat apa yang dialami oleh startup pembuat electric vehicle. Mengapa hanya Tesla yang sekarang ini dianggap berhasil sebagai pembuat mobil listrik, sementara banyak startup lain seperti tertatih dan terancam berhenti beroperasi. Cobalah kritis, apakah kendaraan listrik yang ditawarkan memang menjawab pekerjaan underserved di masyarakat?

Karena solusinya berupa kendaraan, maka pekerjaan di masyarakat adalah yang berhubungan dengan mobilitas masyarakat, misalnya bepergian dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Bisa saja pekerjaan mobilitas ini bagi sebagian besar masyarakat sudah terselesaikan dengan solusi yang ada: mengendarai kendaraan sendiri atau menggunakan transportasi publik.

Salah satu definisi inovasi mensyaratkan adanya peningkatan drastis dari rasio manfaat terhadap biaya (Meyer dan Garg, 2005). Dengan harga mobil listrik yang masih di luar keterjangkauan masyarakat kebanyakan, adakah tambahan manfaat melimpah yang diperoleh penggunanya? Bisa saja itu datang dari manfaat emosional seperti kesenyapan kendaraan yang dapat dinikmati pengendaranya, kebanggaan diri sudah menjadi individu yang bernilai hijau, dan juga penjelas identitas diri sebagai sosok yang sukses karena mampu memiliki kendaraan yang tidak murah.

Halaman:
Ade Febransyah
Ade Febransyah
Guru Inovasi Prasetiya Mulya Business School

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...