Utang Jadi Komoditas Politik

Yura Syahrul
4 Juni 2018, 12:05
Sri Mulyani
Ilustrator: Betaria Sarulina

Pemerintah menghadapi sejumlah tantangan untuk mendorong perekonomian tahun ini, mulai dari kenaikan harga minyak dunia, penguatan mata uang dolar Amerika Serikat (AS) hingga momen pemilihan kepala daerah dan persiapan pemilu 2019. Padahal, masih ada beberapa pekerjaan rumah di sisa masa 1,5 tahun ke depan pemerintahan ini, yaitu mengejar target pertumbuhan ekonomi, penyelesaian proyek-proyek infrastruktur dan menurunkan tingkat ketimpangan serta kemiskinan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, masih ada target pemerintahan Presiden Joko Widodo yang belum tercapai saat ini, seperti pertumbuhan ekonomi. Namun, itu lebih disebabkan faktor eksternal. “Sektor-sektor ekonomi itu dipengaruhi oleh kondisi global, regional maupun dalam negeri. Yang tidak bisa kita kontrol itu yang di luar,” katanya dalam wawancara khusus dengan Tim Katadata.co.id di Jakarta, Selasa (8/5) malam.

Advertisement

Dalam wawancara sekitar 30 menit di dalam mobil EV Shuttle dari kantor Kementerian Keuangan di kawasan Lapangan Banteng menuju lokasi acara ulang tahun ke-6 Katadata di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Sri Mulyani menjelaskan kondisi ekonomi yang ‘menghangat’ memasuki Tahun Politik ini  sekaligus mengklarifikasi dan menepis berbagai isu negatif soal utang luar negeri Indonesia.

Di bawah ini wawancara lengkapnya, termasuk video wawancaranya.

Bagaimana kondisi ekonomi sekarang, antara target pertumbuhan dengan realisasinya?           

Kalau kinerja pertumbuhan ekonomi itu disebabkan —baik dari sisi produksi, yaitu sektor-sektor aktivitas ekonomi di dalam suatu negara, dengan sektor permintaannya. Karena orang kalau produksi tetapi tidak ada yang memakai, itu juga tidak menimbulkan pertumbuhan ekonomi. Jadi kalau melihat kinerja (ekonomi) dari kedua sisi ini.

Di dalam konteks (target ekonomi) yang disampaikan oleh Presiden Jokowi saat kampanye, suasana hari ini kalau dilihat dari komponen produksi --dampak jatuhnya harga minyak dan komoditas seperti batu bara dan CPO-- luar biasa dramatis. Harga minyak mendekati US$ 100 per barel, dan tiba-tiba jatuh ke US$ 35 atau US$ 40, berarti hilang 60%. Hal itu membuat seluruh perhitungan dan (janji) kampanye Pak Jokowi yang ingin mengubah biaya subsidi mencapai Rp 350 triliun untuk menjadi infrastruktur, sebetulnya uangnya itu sudah tidak ada karena harga (minyak) jatuh lebih dari 50%.

Ini yang saya ingin tekankan karena orang memang saat kampanye pasti menyampaikan (target) berdasarkan track record ke belakang. Artinya, waktu itu kalau harga minyak tetap segini (tinggi) maka ekonomi tetap tumbuh seperti ini, Indonesia bisa tumbuh 7%.

Ini yang menyebabkan realisasi ekonomi tak sesuai targetnya?

Di dalam realitasnya, sektor-sektor ekonomi itu dipengaruhi oleh kondisi global regional maupun dalam negeri sendiri. Yang kita tidak bisa kontrol itu (kondisi) yang di luar. Waktu Bapak Jokowi dan Pak Prabowo berkampanye (pemilihan presiden tahun 2014), saat itu harga minyak US$ 90 per barel. Yang terjadi sekarang atau tiga tahun pertama (pemerintahan Jokowi), pertumbuhan kita sekitar 5% (karena) harga minyak kurang dari 60% (dari harga saat tahun 2014). Hal itu  langsung mengurangi drastis, baik sektor produksi, yaitu produksi perusahaan yang berhubungan dengan minyak dan gas, serta batu bara dan CPO, semuanya jatuh. Semuanya itu pemain-pemain besar. Jadi, kalau dia (perusahaan komoditas) jatuh, ya pasti akan jatuh ekonomi kita.

Makanya, hal yang harus kita pelajari dari (kejadian) ini adalah diversifikasi ekonomi itu penting. Indonesia sebenarnya sudah termasuk yang diversify. Berbeda dengan negara seperti Rusia, Venezuela, Nigeria, Afrika Selatan, Angola, atau bahkan Brasil, pengaruh dari jatuhnya harga minyak dan komoditas sangat besar terhadap perekonomian mereka. Itu satu (masalah ekonomi).

Apa lagi faktor lainnya?

Yang kedua, (masalah) di dalam negeri yang bisa kita control. Seharusnya judgement-nya, apakah pemerintah dapat mengontrol dalam negeri dan menggunakan kebijakan dan instrumennya agar dapat mengurangi dampak shock ini (harga minyak anjlok), dan kemudian menyebabkan targetnya tidak tercapai atau meleset? Kalau dilihat dari situ, kita lihat instrumen makronya seperti neraca pembayaran, kebijakan moneter, dan instrumen fiskalnya APBN. Defisit APBN kita hampir mentok tiga (3% dari PDB). Karenanya, sempat ada wacana mengubah undang-undang keuangan negara supaya target maksimum defisit (3%) itu bisa dilepaskan.

Nah itu suasana tahun 2015 dan 2016. Banyak pengkritik mengatakan, “wah semestinya waktu itu kita countercyclical (pembalikan siklus) fiskalnya, harus lebih gede lagi”. Artinya defisitnya bisa lebih dari 3%. Bahkan, kita bikin tax amnesty. Sekarang tahun ke-4 (masa pemerintahan Jokowi) atau masuk 2018, orang lupa pada cerita itu. Orang marahin utang yang naik. Padahal waktu itu utang dijadikan sebagai instrumen untuk melakukan countercyclical.

Jadi, kebijakan-kebijakan itu merespons kondisi yang ada?

Poin saya adalah, dari dalam negeri Pak Jokowi meresponsnya. Pertama, melakukan countercyclical melalui instrumen yang dikuasai oleh pemerintah, fiscal. Tapi countercyclical tidak cukup, maka dilakukan reformasi paket kebijakan, simplifikasi. Memang kebijakan-kebijakan ini dalam jangka pendek pengaruhnya mungkin terbatas, karena ekonomi lagi shock dan kita cuma mengurangi supaya shock-nya tidak ‘dalem banget’. Tapi buah dari yang dilakukan sekarang itu mungkin baru akan terasa pada tiga tahun ke depan. Makanya, nanti tiga tahun ke depan orang mengklaim, “wah ekonomi bagus”. Eh, itu bukan keringat Anda!

Bagaimana dampak momen Pilkada 2018 dan pemilu tahun depan terhadap ekonomi?

Dampak kalau dari sisi belanja itu positif karena Pilkada, Pileg (pemilu legislatif), Pilpres (pemilihan presiden), ada tambahan dari APBN tahun ini Rp 18 triliun. Ini belum ditambah dengan anggaran yang dikeluarkan oleh para calon, atau calon legislator atau calon presiden, yang semuanya akan menimbulkan dampak positif. Yang bisa menetralisir dampak positif itu adalah kalau orang merasa was-was, “keamanannya bagus tidak”.

Tapi Indonesia punya track record keamanan yang selalu bisa terjaga. Apakah retorika dari kebijakan yang disampaikan itu positif atau negatif. Seperti kebijakan waktu Pilpres di Amerika Serikat, retorika kebijakannya menjadi sangat ekstrim, (sehingga) ekonominya bisa goyang. Seperti Merkel (Perdana Menteri Jerman Angela Merkel) atau seperti Macron (Presiden Prancis Emmanuel Macron). Artinya dampak dari sisi arah dan retorika kebijakannya itu divisive atau tidak. Rakyat menjadi khawatir, ketenangan dan kepercayaan dari pelaku ekonomi tidak terjadi.

Bagaimana yang terjadi di Indonesia?

Seperti saya sampaikan tadi, kalau kita bicara pertumbuhan ekonomi maka kita bicara tentang pelaku ekonomi yang melakukan aktivitas, dan dari sisi permintaan yaitu masyarakat, investor, eksportir bisa kerja atau tidak. Kalau mereka kemudian merasa bahwa tahun politik itu menciptakan ketidakpastian, itu (momen politik) menjadi negatif. Tapi saya lihat Indonesia sejak tahun 2000 sepertinya cukup berpengalaman walaupun retorikanya kemana-mana, tapi belajarlah. Dari tahun 2000 apa yang bisa dijanjikan dan apa yang tercapai, tahun 2004 apa yang dijanjikan apa yang tercapai, 2010... sama seperti itu, 2009, sekarang 2014 dan nanti 2019. Artinya moga-moga Indonesia juga belajar.

Terkait kontroversi kenaikan utang, ada isu kenaikan tarif listrik, jalan tol dan pajak merupakan upaya pemerintah mencari dana untuk membayar utang.

Pertama, kenaikan harga listrik itu hubungannya dengan PLN yang harus membangun listrik di seluruh pelosok Indonesia. Elektrifikasi di Indonesia belum 100%, masih banyak di pelosok kita yang belum (menikmati listrik). Tapi PLN sebagai entitas agar dapat investasi dan ekspansi maka membutuhkan capital. Salah satu capital itu adalah dari surplus penerimaannya. Meskipun pemerintah juga melakukan injeksi dalam bentuk subsidi, tapi sebagai perusahaan PLN harus sehat. Jadi (penjelasan ini) supaya bisa mendudukkan (persoalannya).

Kalau jalan tol itu dibangun supaya ekonomi masyarakat menjadi baik, produktivitas meningkat. Sebagian besar jalan tol itu dibangun oleh perusahaan BUMN dan swasta. Jadi kalau mereka membangun jalan tol, mereka mendapatkan modal dari pemerintah berupa injeksi (modal) maupun swastanya membawa modal dari luar. Mestinya kita malah untung.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement