Produksi Pertanian Diperkirakan Turun 6,2% Terimbas Pandemi Corona

Rizky Alika
3 April 2020, 14:00
produksi pertanian, produksi pangan, pertanian, pandemi corona, covid-19,
Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Petugas memeriksa stok pangan di Jakgrosir, Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (12/3/2020). CIPS memperkirakan produksi pertanian turun higga 6,2% karena terganggunya rantai pasok akibat pandemi corona.

Pandemi virus corona alias Covid-19 turut berdampak pada sektor pertanian. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) memperkirakan produksi pertanian akan turun 1,64% hingga 6,2% akibat terganggunya rantai pasokan.

"Ini karena rantai pasok tidak efektif akibat terhambatnya logistik seiring adanya pengurangan aktivitas sosial," kata Peneliti CIPS Felippa Ann Amanta dalam video conference, Jumat (3/4).

Menurutnya, produksi juga mengalami pelemahan akibat adanya penurunan tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 1,63-4,87% akibat wabah corona. Selain ketenagakerjaan, investasi pada sektor pertanian juga diperkirakan turun 2-3,7% juga akibat pandemi yang masih berlangsung hingga saat ini.

Dengan berbagai proyeksi tersebut, pasokan pangan domestik bisa mengalami penurunan, sehingga menyebabkan kekurangan stok pangan. Dampak lanjutannya, harga komoditas pangan yang terdampak akan mengalami kenaikan.

(Baca: Produksi Gabah Nasional Diprediksi Turun Akibat Faktor Cuaca)

CIPS pun telah menyusun indeks rumah tangga di Indonesia yang dapat dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand, Filipina, Singapura, dan Malaysia. Indeks tersebut merupakan hasil penghitungan harga 10 komoditas pangan utama di dalam negeri seperti ayam, gula, bawang putih, telur, dan beras.

Indeks rumah tangga tersebut pun menunjukkan bahwa setiap keluarga di Indonesia bisa berhemat Rp 456.367 sepanjang Maret jika harga pangan bisa semurah di negara tetangga lainnya.

Oleh karena itu dia pun menekankan bahwa stabilisasi harga sangat penting walaupun pemerintah telah memberikan berbagai stimulus ke masayrakat seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Pasalnya, pola konsumsi masyarakat bisa bergeser bila pemerintah memberikan stimulus tanpa diiringi oleh stabilisasi harga.

"Jika harga beras dan telur naik, perilaku masyarakat bisa bergeser menjadi lebih banyak mengkonsumsi beras serta mengurangi konsumsi telur," ujar dia.

(Baca: Harga Bawang Putih Masih Tinggi, KPPU Sebut Relakasi Impor Tak Efektif)

Apalagi, lanjut Felippa, banyak produk Indonesia yang membutuhkan bahan baku melalui impor. Sedangkan proses impor di Indonesia membutuhkan waktu yang panjang.

Contohnya, perizinan impor daging sapi seharusnya bisa selesai dalam waktu 32 hari, merujuk pada aturan yang berlaku. Namun, fakta di lapangan menunjukkan importir membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan perizinan.

Dia pun mengimbau agar hambatan birokrasi dibebaskan terutama di tengah pandemi corona. "Butuh langkah tegas dan sigap, jangan sampai terhambat birokrasi," ujar dia.

Selain mengurangi hambatan perdagangan, Anggota Dewan Pengawas CIPS dan Ekonom Australian National University Arianto Patunru mengatakan, Indonesia perlu membentuk sistem Emergency Food Reserves atau Cadangan Pangan Darurat.

"Sistem ini juga bisa dilakukan melalui kerja sama dengan negara lain, misalnya lewat kerangka East Asian Emergency Rice Reserves/APTERR," katanya.

(Baca: Ada Pandemi Corona, Pemerintah Jamin Stok Pangan Cukup Jelang Ramadan)

Reporter: Rizky Alika

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...