Tak Dapat Banyak Insentif, Bisnis Penerbangan Diramal Baru Pulih 2024

Happy Fajrian
26 Februari 2021, 19:01
industri penerbangan, insentif, inaca
ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/hp.
Sejumlah penumpang turun dari pesawat tujuan Ternate - Jakarta setibanya di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (25/2/2021). Dengan dibukanya rute baru Citilink Jakarta - Ternate dan sebaliknya sebanyak 7 kali penerbangan dalam satu minggu diharapkan dapat memudahkan kunjungan bisnis dan meningkatkan kunjungan wisata kedua provinsi tersebut.

Sektor transportasi merupakan salah satu sektor yang paling terdampak pandemi Covid-19. Jumlah penumpang yang menggunakan moda penerbangan turun signifikan seiring berbagai kebijakan pembatasan, mulai dari PSBB (pembatasan sosial berskala besar) hingga PPKM (penerapan pembatasan kegiatan masyarakat).

Ketua umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Denon Prawiraatmadja meyakini industri penerbangan nasional membutuhkan bantuan dan dukungan pemerintah melalui berbagai insentif untuk bangkit dari keterpurukan akibat pandemi.

"Untuk memulihkan sektor penerbangan dibutuhkan insentif perpajakan dan biaya-biaya kebandarudaraan," kata Ketua Umum Indonesia National Air Carries Association (INACA) Denon Prawiraatmadja melalui keterangan tertulis, Jumat (26/2).

Denon menjelaskan seluruh maskapai nasional sudah mengajukan permohonan insentif kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan sejak Maret 2020. Ada sekitar 36 perusahaan yang tergabung dalam asosiasi yang mengajukan permintaan insentif perpajakan.

Namun Denon mengklaim sejauh ini permintaan tersebut belum mendapat persetujuan. Padahal industri penerbangan adalah salah satu kontributor utama perekonomian yang menyumbang lebih dari 2,6% produk domestik bruto (PDB) serta menyediakan sekitar 4,2 juta tenaga kerja.

Meski demikian dia memaklumi bahwa menghitung besaran Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) puluhan maskapai bukan perkara mudah.

Selain itu, maskapai penerbangan juga membutuhkan fleksibilitas pembayaran ke sejumlah BUMN yang terkait dengan penerbangan, seperti Pertamina, operator bandara Angkasa Pura I dan II, dan AirNav. 

Biaya bahan bakar avtur memakan 40-45% biaya operasional maskapai. Sementara maskapai hanya bisa beli avtur dari Pertamina. “Itu sebabnya, kami mohon fleksibilitas mekanisme pembayaran biaya-biaya, seperti biaya avtur, navigasi, dan biaya-biaya kebandaraan lainnya dari Airnav dan Angkasa Pura,” ujarnya.

Lagi-lagi permintaan fleksibilitas pembayaran tersebut belum mendapatkan respons yang positif dari BUMN terkait.

Halaman:
Reporter: Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...